Saya memimpin tim pustakawan yang mayoritas masih muda, rata-rata belum genap sepuluh tahun menjadi ASN. Mereka punya energi besar, semangat belajar tinggi, dan cepat sekali beradaptasi dengan hal baru. Tantangan saya justru bagaimana mengarahkan energi itu agar tidak tenggelam dalam rutinitas birokrasi.
Beberapa bulan lalu, saya mengambil satu langkah yang agak tidak biasa: menganggarkan langganan ChatGPT dari APBN. Dengan begitu, AI resmi menjadi bagian dari infrastruktur kerja kantor kami, bukan sekadar eksperimen pribadi.
Hasilnya terasa nyata. Kami menggunakan AI untuk menyusun dokumen perencanaan, membuat monitoring evaluasi, hingga mengukur dampak kegiatan pengembangan perpustakaan. Jika dulu laporan butuh waktu berminggu-minggu, sekarang cukup beberapa hari. AI membantu menyiapkan draft, sementara pustakawan fokus memperkaya data dan menajamkan analisis.
“AI membuat pondasi, pustakawan memberi jiwa.”
Perubahan ini bukan hanya soal kecepatan, tapi juga kualitas. Monitoring jadi lebih terstruktur, evaluasi lebih terukur, dan pembelajaran dari tiap kegiatan lebih jelas dirumuskan.
Bukankah ini yang selama ini kita harapkan dari birokrasi—kerja cepat, hasil terukur, dan pembelajaran yang terus berlanjut?
Sejak awal 2024, melalui tulisan di Kompas.id berjudul “Layanan Perpustakaan dan Kecerdasan Buatan Generatif”, saya sudah menekankan bahwa perpustakaan akan segera berhadapan dengan arus kecerdasan buatan generatif. Perubahan ini, saya tulis waktu itu, harus ditopang oleh kebijakan dan regulasi.
Kini, pengalaman di forum maupun di kantor memperlihatkan betapa cepat prediksi itu menjadi kenyataan. Jurang adopsi AI tidak lagi soal kemungkinan, tapi soal keberanian kelembagaan untuk menutupnya.
Antara Kosmetik dan Redesign
Apa yang kami alami di kantor ternyata sejalan dengan teori manajemen Hammer dan Champy (2009). Menghadapi teknologi disruptif tidak cukup dengan otomatisasi, melainkan butuh perombakan fundamental atau business process redesign.