Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Derita Menjadi Orang yang "Bukan Siapa-siapa"

26 September 2020   17:28 Diperbarui: 29 September 2020   03:55 2333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orang yang dianggap biasa-biasa saja. (sumber: phototechno via kompas.com)

Adakah di antara Anda yang pernah seperti saya, menjadi orang yang "bukan siapa-siapa"?

Saya pernah menjadi orang yang "bukan siapa-siapa". Ketika bekerja menjadi drafter (juru gambar) dan pegawai dengan predikat "staf teknik" di salah satu perusahaan lokal - kontraktor kecil di Surabaya. 

Surabaya, tahun 1994, membuat saya kagum, sama seperti kesan dan cerita orang-orang dari kampung yang baru pertama kali melihat kemegahan gedung-gedung yang berjejer di sepanjang jalan Jendral Sudirman, Jakarta. "Jakarta sangat megah," kata mereka.

Di sini, di Surabaya ini, saya akan bekerja di perusahaan kontraktor kecil - rekanan Pemerintah, selama 1,5 tahun, menjadi pegawai dengan predikat "staf teknik" sekaligus akan memulai menjalani kehidupan sangat sulit - menjadi orang yang "bukan siapa-siapa".

Oh, iya, mungkin Anda ingin tahu mengapa saya merasa harus memberi tanda kutip pada kata staf teknik? Saya memang sengaja memberinya tanda kutip karena itu adalah jenis pekerjaan sangat tidak enak - setidaknya untuk saya. 

Segala macam jenis pekerjaan dibebankan kepada saya dan harus saya selesaikan semua: mengetik, merekap bon-bon, melakukan survei ke lapangan, memfoto kopi, menggambar, menghitung volume pekerjaan (estimator), membantu staf logistik, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang semacam itu.

Itulah derita pertama saya menjadi orang yang "bukan siapa-siapa". Menjadi bagian 'tidak penting' membuat saya pasrah diberikan pekerjaan dengan jenis apapun! Ceritanya tentu akan sangat berbeda jika, misalnya, ayah saya adalah orang kaya atau direktur perusahaan itu. Benar, kan?

Gaji yang saya terima di perusahaan kontraktor kecil di Surabaya waktu itu (tahun 1994) adalah 168.000 rupiah per bulan. "Maaf, saya tinggal di kantor mas, di lantai dua," kataku malu-malu, kepada semua, yang menanyakan dimana saya ngekos. Anda sebaiknya tak usah bertanya mengapa saya memilih tidur di kantor...

Cerita tentang saya yang kehabisan uang dan terpaksa makan hanya satu atau dua kali sehari selama seminggu bukanlah kisah imajinasi saya. Kisah seperti ini sering sekali terjadi. 

Ya, sering sekali. Itu terjadi, biasanya, setelah saya memeroleh telpon dari kampung saya - dari Ibu saya. "Tolong, kamu kirim 100 ribu ya untuk adikmu di Malang (adik saya kuliah di Malang). Ibu pinjam ya, nak!" begitu suara Ibu di ujung telpon - membuat suaraku tercekat dan tak kuasa mengatakan tidak. 

Anda sanggup membayangkan, setelah gaji saya 168.000 dikurangi 100.000, apakah sisa uangnya cukup untuk membeli makan selama, katakanlah, seminggu atau dua minggu?

Mengapa saya tidak berusaha meminjam uang saja? Itulah derita kedua saya menjadi orang yang "bukan siapa-siapa": 

Tak pernah dipercaya orang, sehingga sekedar untuk mencari pinjaman sedikit uang ketika saya kehabisan bekal dan terpaksa makan hanya satu atau dua kali sehari - selama sepuluh hari, pun saya gagal..     

Masa terus berganti. Hari dengan cepat berganti bulan dan tahun. Meski gaji saya hanya 168.000 rupiah per bulan, tetapi - Alhamdulillah, setelah beberapa tahun, saya akhirnya bisa mengumpulkan beberapa juta rupiah, yang setelah saya mendengarkan beberapa saran, akhirnya uang tabungan itu saya gunakan untuk membuka bengkel kecil - bengkel sepeda motor.

Tentu saja saya sangat senang! Saya akhirnya bisa memiliki usaha sendiri dan 2 orang karyawan (saya belum meninggalkan pekerjaan formal saya di Kontraktor).

Tetapi, ternyata, setelah beberapa bulan, entah apa yang terjadi dengan bengkel saya (saya menyerahkan operasional usaha bengkel kepada saudara saya), saya mendadak ingin menutup bengkel tersebut. Musababnya adalah: pendapatan yang terus menurun. Tidak bisa menutupi opex (operating expenditure).

Setelah saya meminta saran dari beberapa orang, saya akhirnya (nekat) memutuskan mendatangi salah satu bank daerah (bank milik Pemprov) --untuk apa kalau bukan untuk mencari pinjaman. Saya lantas membuat proposal pinjaman dan melengkapinya dengan: salinan surat kepemilikan usaha, foto-foto bengkel, aset (daftar peralatan), surat-surat keterangan - mulai dari RT, RW, dan kepala desa.

Dengan sepucuk doa indah, yang kupanjatkan sebelum meninggalkan halaman rumah, saya berangkat menuju kantor bank tersebut. 

Sampai di depan pintu kaca bank, tangan saya bergetar- ragu membuka pintu. Inilah kali pertama saya membawa proposal kredit, menemui orang yang tidak saya kenal. Cerita dari orang-orang yang pernah mengajukan proposal meminjam dan lalu dipimpong membuat saya ragu. But, the story must go on..

Pintu besar berbahan kaca itu saya buka. Saya ditemui oleh security. Saya memberanikan diri mengutarakan maksud kedatangan saya dan saya lantas dibawa ke salah satu staf (mungkin staf bagian kredit). Saya mengenalkan diri. Menjelaskan dengan detail maksud dan tujuan saya, profil usaha saya, dan proposal asli saya berikan kepadanya.

"Maaf, mbak, kapan ya saya bisa memeroleh jawabannya?" tanya saya.

"Nanti kami kabari, ya pak. Saya harus memeriksa dokumennya terlebih dahulu," kata staf yang menemui saya.

Setelah itu, saya pulang. Dan, saya akan menjadi setia menunggu dengan sabar jawaban dari pihak bank. Namun, nasib ternyata tidak sesuai harapan, hingga beberapa hari bahkan beberapa minggu saya tidak juga memeroleh jawaban.  Saya akhirnya memutuskan mendatangi kembali kantor bank tersebut. 

Apakah saya berhasil pada kedatangan yang kedua? Ternyata tidak! Hasilnya tetap tidak sesuai harapan. Oleh pihak bank, saya malah diminta menemui staf lain yang kantornya ada di alamat yang berbeda. Huff...

"Terima kasih, mbak," saya pun pamit. Dan, besok, seperti yang disarankan, saya bergegas datang ke kantor yang lain yang alamatnya berbeda dari alamat kantor yang pertama.

Tapi, sekali lagi, nasib ternyata tidak sesuai harapan! Di kantor yang  kedua, saya memeroleh jawaban yang sama: "Nanti kami kabari. Ditunggu saja, ya pak".

Mengapa proposal saya tidak "disetujui"? Mengapa saya merasa "diabaikan"? Jawabannya pasti bisa banyak sekali. Bisa bermacam-macam. 

Tetapi, yang jelas, saya tidak tertarik menuliskannya. Yang saya ingat, yang masih tersimpan rapi di ruang memori di kepala saya, hanya satu hal: itulah derita yang ketiga menjadi orang yang "bukan siapa-siapa": diabaikan.

Menjadi orang yang bukan "siapa-siapa" itu sangat tidak enak: diabaikan dan kehilangan akses perbankan.

Itulah keadaan dan sedikit cerita lama saya, ketika menjadi orang "bukan siapa-siapa", yang, tentu saja sangat berbeda dengan keadaan saya hari ini.

Ya. Semuanya (kisah tentang saya) memang sudah sangat berbeda dengan kisah dulu. Contoh kecil saja; memeroleh kredit dari bank adalah sesuatu yang begitu mudahnya bagi saya hari ini. 

Hampir sebulan sekali, selalu saja ada dering telpon dari bank yang menawari saya rupa-rupa kredit; mulai mobil, rumah atau apartemen, asuransi, hingga townhouse. 

"Maaf, pak, jika bapak ada waktu, silakan bapak datang ke kantor kami, kepala bagian saya ingin berbicara langsung dengan bapak," kata staf bank dengan suara sangat ramah.

***

sumber ilustrasi: 123rf.com
sumber ilustrasi: 123rf.com
Di suatu waktu, beberapa tahun silam, saya pernah bertemu dengan salah satu direktur perusahaan solar power panel dari luar negeri. Usai saya mendengarkan paparannya tentang teknologi solar power panel termasuk sistem dan prosesnya.

Ditemani secangkir kopi dan kue, kami berdua secara tak sengaja terlibat dalam obrolan sangat menarik: tentang cara mudah memeroleh duit. "Kalau bapak memiliki informasi ada gas power plant yang mau dijual, tolong beritahu kami. Kami siap membeli," terang tamu kami itu.

Pada awalnya, saya tak terlalu paham maksud dan makna ucapan tamu saya itu. Tetapi, beberapa saat kemudian, saya pun merasa ngeh. Sang tamu ternyata sedang berbicara tentang MTN atau Mediun Term Note (saya sebut saja sebagai MTN), yang beberapa bulan kemudian saya baru tahu wujud MTN itu seperti apa.  

MTN adalah selembar kertas yang ditandatangani dan diberikan stempel (oleh perusahaan yang meminjam uang). Di selembar kertas itu si peminjam cukup menulis: Dengan ini kami berhutang ..... Utang akan kami bayar pada ..... Dengan bunga....

Selembar kertas itu lantas diserahkan kepada perusahaan sekuritas yang kita percayai atau pialang, dan jika semua urusan mulus, kita akan memeroleh dana yang kita butuhkan. "Begitu mudahnya!" (saya sengaja memberinya tanda kutip agar Anda tidak mendebatnya).

MTN adalah sesuatu yang tak terpikirkan oleh saya pada 20 tahun yang lalu.

Mungkin Anda ingin tahu mengapa saya merasa perlu menceritakan tentang MTN dan apa hubungannya dengan tema tulisan saya? Ah, ya, maaf, saya lupa memberitahu. 

Hubungan antara cerita MTN dan tema tulisan adalah pesan: lihatlah, ketika kita sudah menjadi "siapa" sebegitu mudahnya kita memeroleh uang. Inilah yang saya sebut sebagai "diskriminasi kelas dan akses finansial"!

Derita menjadi orang yang "bukan siapa-siapa" yang ke-sepuluh: tidak kenal siapa-siapa, tidak tahu apa-apa, kehilangan privilese, sehingga membuat akses keuangan sangat terbatasi.   

***

Satu hal yang kupelajari dan kusimpulkan dari sepenggal kisah-kisah saya ketika saya menjadi orang "bukan siapa-siapa". Saya berterimakasih telah pernah menjadi "bukan siapa-siapa" karena ia telah menyulut semangat dan memotivasi saya. Ia telah mengubah keadaan sehingga saya menjadi seperti hari ini.

Yakinlah, ketika Anda mengalami momen paling menyakitkan ketika masih menjadi "bukan siapa-siapa", itu adalah lumrah. Suatu saat, ketika Anda sudah menemukan caranya atau tahu jalannya, kesulitan-kesulitan itu bakal menjadi cerita berharga - yang manis dikenang dan dikisahkan kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun