Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Pentingkah Memiliki Banyak Sertifikat Training?

4 Agustus 2020   21:41 Diperbarui: 9 Agustus 2020   20:04 1081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi karyawan mengikuti pelatihan (Sumber: www.biovatt.com)

Tyo dan Imelda. Mereka adalah teman-teman dekat saya. Tyo, laki-laki berkaca mata, lulusan universitas negeri di Bandung. Bekerja di perusahaan engineering dan design. Predikatnya adalah seorang manager.

Imelda, laki-laki berpostur tinggi dan tegap, lulusan universitas swasta terkenal. Sekarang ia bekerja di salah satu perusahaan penyedian jasa design dan pembuatan website. Ia "hanya" seorang desainer dan juru gambar.

Sudah sejak lama, yang saya tahu, Imelda "cemburu" dengan Frans. Beberapa kali ia mengisahkan impiannya agar ia bisa bekerja di tempat yang serupa dengan Frans yang keren dan membanggakan itu. 

Tetapi, setiap kali ia berusaha, setiap kali itu pula ia gagal. Maka, untuk mewujudkan keinginannya itu dan agar CV-nya bisa semakin cantik, ia kemudian mengikuti banyak training dan seminar. 

Belasan sertifikat berhasil ia kumpulkan. Tetapi, sepertinya, sertifikat-sertifikat itu ternyata tak banyak menolongnya sebab nyatanya ia terus saja gagal dalam banyak proses interview.

Frans juga memiliki banyak sertifikat. Lebih dari dua puluh! Saya tahu sebab saya menyimpan salinan CV-nya. Sederet training atau sertifikat yang dimilikinya memang menarik decak kagum saya sebab training-training yang disebutkan di CV-nya bukan tipikal training kaleng-kaleng atau murahan.

Ada salah satu training yang biayanya, jika saya tak salah mengingat, seharga hampir 45 juta. Mahal? Jelas! Sebab itu adalah harga pada tahun 2012. Saya tidak tahu berapa harga training kualifikasi khusus itu sekarang.

Mengapa Tyo dan Imelda sampai merasa harus mengikuti beragam training ini dan itu? Alasannya bisa sangat beragam.

Ya. Banyak pekerja dan karyawan, seperti yang saya lihat, gemar mengikuti training untuk alasan yang beragam; bisa untuk memenuhi kebutuhan profesinya, untuk melamar pekerjaan, untuk memenuhi syarat mengikuti organisasi profesional, syarat memeroleh beasiswa, dan lain-lain. Beberapa di antaranya berharap, dengan semakin banyak sertifikat yang mereka punyai, maka, semakin besar pula mereka mendapatkan peluang-peluang itu.

Begitu lah harapan dan doa setiap pekerja dan karyawan. Tetapi, benarkah?

Belum tentu!

Imelda adalah contoh sederhana bahwa, sertifikat-sertifikat yang dikoleksinya ternyata tak banyak menolong nasibnya. Kisah Imelda itu, setidaknya, mungkin bisa mewakili ratusan atau ribuan atau malah tak terhitung kisah-kisah lainnya yang serupa dan pada akhirnya mereka hanya mendapati sertifikat-sertifikatnya seperti "tak bernilai".

Mengapa demikian? Sebab mereka hanya berburu berlembar-lembar kertas, yang dalam kenyataannya ternyata benar-benar tak lebih hanya sebagai kertas semata. Mereka mengabaikan kebutuhan.

Mengabaikan kebutuhan jelas memiliki implikasi. Training yang seharusnya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan untuk mendukung atau meningkatkan kualifikasi dan kompetensi (yang sudah ada), dalam kenyataannya ternyata hanya dianggap sebagai jalan atau media untuk memerbaiki nasibnya.

Pada umumnya, seperti yang saya perhatikan, naluri dasar pekerja dan karyawan tentu tak mau waktu dan uang mereka terbuang percuma jika mereka tidak yakin hasilnya akan berguna untuk karir mereka. 

Bagi seorang profesional yang menjunjung tinggi formalitas, mereka meyakini sertifikat-sertifikat itu memang sangat mereka butuhkan untuk menunjang karir mereka. Mereka tidak sembarangan memilih training yang kaleng-kaleng atau yang tak sesuai profesinya.

Saya sebenarnya tidak sedang mengatakan bahwa training yang murah dan tidak sesuai dengan profesi itu tidak penting. Bukan. Bukan itu maksud saya. 

Mengikuti beragam training bukan sesuatu yang salah. Itu sah dilakukan siapapun. Mengkoleksi sertifikat hingga belasan atau malah puluhan tentu bukan sesuatu yang salah, asalkan dibarengi peningkatan kualitas, kompetensi, dan kecakapan.

Di artikel saya yang sebelumnya, saya pernah menyampaikan, bahwa ketika saya ditunjuk atau saya diminta terlibat dalam banyak proses interview, saya hanya meletakkan keseriusan pelamar atau komitmen di urutan paling atas sebagai bahan pertimbangan apakah kandidat layak diterima atau tidak. Bukan kemampuan teknis, bukan sederet angka atau indeks prestasi-nya, bukan sertifikat, dan bukan dari universitas mana pelamar lulus.

Keseriusan atau komitmen, bagi saya, adalah hal (sesuatu) yang paling penting. Saya yakin dengan komitmen pelamar, baru saya akan melihat kemampuan teknis, deretan sertifikat, indeks prestasi, dan lain-lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun