Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Inspirasi Dalai Lama, Anak-anak dan Pendidikan Kita

7 Agustus 2019   09:52 Diperbarui: 13 Agustus 2019   01:34 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto; www.dalailama.com

DALAI lama telah dan kerap membagikan kepada kita banyak kutipan inspirasional dan tutur kata. Tentang kehidupan dan kedamaian.

Dan, tentu saja, tentang falsafah hidup.

Seperti kutipan sangat menarik yang saya temukan (baca) pagi kemarin.

Young children don't care about differences of nationality, faith or race. So long as their companions smile, they play together happily. It seems it's only as we grow up, in the course of education, that focusing on secondary differences between people creates trouble (Dalai Lama -Twitter , 29 Juli 2019).

Mengapa (bagi saya) kutipan diatas itu sangat menarik? Dan, demikian berharga?

Pertama; karena dalam beberapa tahun terakhir, kita melihat dan mencatat, etnisitas (dan isu-isu identitas lainnya) terus disorot dan telah menjadi perhatian sangat serius dari banyak pihak. 

Identitas (nationality, faith, race) adalah komoditas yang marak diributkan dan telah menimbulkan dampak sangat luar biasa bagi perjalanan bangsa. Sesudah (baru saja) kita hampir terbelah akibat pertentangan identitas dan kelas.

Karena politik dan kepentingan, garis tegas yang meneguhkan "ini golonganku" dan "itu bukan golonganku" kini semakin jelas ditampakkan.

Yang kedua; tentang pendekatan yang kita pakai (selama ini) dalam mendidik anak. "It seems it's only as we grow up, in the course of education, that focusing on secondary differences between people creates trouble," kata Dalai. 

Dalai mengatakan bahwa pendidikan yang berfokus hanya kepada perbedaan (sekunder) antara orang-orang itu akan menciptakan persoalan.

Anak-anak, merujuk kepada kutipan inspirasional Dalai seperti di atas, tidak akan paham dan tidak peduli siapa orang-orang yang ada di sekitarnya. 

Anak-anak tidak peduli sahabat-sahabatnya itu beragama apa, berbangsa apa dan beretnis apa. Selama orang-orang terdekat mereka tersenyum, mereka akan bermain bersama dengan suka cita.

Anak-anak menyimpan kisah dan dunianya yang luar biasa! Dan, orang-orang tua (seperti kita) boleh iri kepadanya.

Anak-anak kita itu bagaikan kertas putih. Ayah dan ibunyalah (orang-orang dewasalah) yang akan memberikan warna. Apakah hitam, putih atau abu-abu. "Terserah" kepada kita, apapun warnanya itu.

Anak akan membangga-banggakan identitasnya (nationality, faith, race) jika kita menginginkannya demikian dan dengan sengaja membiarkan ia bangga dengan identitasnya. 

Sama halnya ketika kita mengajari dengan cara yang sebaliknya, anak juga akan tumbuh menjadi (seperti) "Gus-Dur kecil" yang membaur dan tidak pernah melihat apa warna bajumu, apa agamamu, apa madzab, apa warna kulitmu dan seterusnya.

Jika kita terus mengajarkan kepada anak-anak tentang perbedaan dia dengan teman yang lainnya, maka, kata Dalai, kita secara tidak sadar sedang menciptakan persoalan untuk kita sendiri. "How we create problems for ourselves," kata Dalai.

Saya dan mungkin banyak rakyat kini merasa sangat muak melihat negeriku terus riuh dan gaduh! Ini, saya yakini, dikontribusi oleh agitasi identitas yang disembur-semburkan secara terus menerus di panggung media sosial. Betapa kita menciptakan persoalan untuk kita sendiri.

Yang membuat kita kian miris, bahkan, ada sejumlah kelompok yang membela-bela sampai mati segala hal yang bahkan kita tidak pernah bisa putuskan sendiri.

Segala hal yang kita ributkan selama ini itu tidak pernah bisa kita putuskan sendiri?

Ya, demikianlah saya melihat dan memahaminya.

Bukankah ras itu bersifat biologis? Ras adalah kumpulan faktor genetik yang berhubungan dengan faktor lingkungan dari dan di tempat nenek moyang kita berevolusi. Apakah saya bisa meminta Tuhan agar saya dilahirkan sebagai orang Yahudi, sebagai orang Arab, atau sebagai orang Melayu?

Bukankah kebangsaan itu bersifat administratif? Ini didasarkan pada di mana kita dilahirkan, hukum di berbagai negara lalu diatur, dan berbagai ritual yang telah kita lakukan sejak itu. Apakah saya bisa meminta Tuhan agar saya dilahirkan di Arab atau Tiongkok?

Bukankah agama itu juga bersifat pribadi? Agama adalah seperangkat kepercayaan pribadi yang "irasional" yang tidak memerlukan bukti-bukti yang empiris sebelum saya mengikuti dan meyakininya.

Agama menghubungkan keyakinan masing-masing orang dengan berbagai "kisah di langit" yang tidak perlu diperdebatkan (sekali lagi; tidak perlu diperdebatkan). Apakah keyakinan orang lain yang berbeda akan membuat runtuh agama kita. Tidak kan??

Agama juga adalah kehendak dan takdirNya. Karena apakah saya bisa meminta Tuhan agar saya dilahirkan dari rahim seorang Muslim atau Kristen? Apakah jika saya lahir dari rahim bukan seorang Muslim maka hari ini saya tidak akan memeluk Islam sebagai agama saya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun