Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Siasat Politik Berbasis Masjid

7 Agustus 2018   13:43 Diperbarui: 7 Agustus 2018   21:53 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi; dokumen Pribadi

Isu politisasi masjid kembali menyeruak dan memunculkan kekhawatiran banyak kalangan, seiring menghangatnya suhu politik tanah air akhir-akhir ini.

Adalah pilkada DKI Jakarta tahun 2017, seperti yang saya amati, sebagai ajang pemilihan kepala daerah yang menggunakan masjid sebagai tempat berkampanye paling mengkawatirkan, yang pernah saya lihat hampir sepanjang usia saya.

Sebenarnya, penggunaan masjid sebagai tempat kampanye sudah mulai saya rasakan sejak tahun 2013 -menjelang Pilpres 2014. Alih-alih mendengarkan kalimat damai dan ajakan berbuat kebaikan, saya malah kerap mendengarkan ceramah politik ketika berada di dalam masjid - setiap saya pergi menunaikan ibadah sholat Jumat.  

Apakah saya jengah? Ya tentu saja.

Awalnya, saya kira, menjadikan masjid sebagai pusat aktifitas politik akan berakhir setelah Pilpres 2014 usai. Tetapi, ternyata, dugaan saya salah.

Pembangunan gerakan politik melalui masjid, semakin menjadi-jadi karena berlanjut di Pilkada DKI 2017. Dan, sepertinya masih akan berlanjut pada Pilpres 2019 -meski sejujurnya saya berharap tidak.

Di Pilkada DKI 2017, kita bisa mencatat, betapa riuhnya umat ketika masjid digunakan sebagai tempat kampanye politik. Masjid, yang seharusnya menjadi tempat suci mendekatkan jiwa, malah berubah menjadi tempat menghasut untuk memusuhi sesama.

Maka, yang kemudian terjadi adalah ketegangan antar sesama muslim sendiri. Orang-orang merasa mereka lah yang paling berhak atas Tuhan dan agama. Muslim meng-olok-olok muslim.  

Pada saat masa kampanye Pilgub DKI, usah ditanya seberapa kerap saya mendengar kalimat-kalimat ajakan yang membuai dari sang Khatib untuk bergerak melakukan kebaikan. Yang saya ingat, setiap saya berada di masjid untuk menunaikan Jumat [pertengahan tahun 2017 hingga usainya Pilgub DKI], saya kerap menjumpai cerita tentang PKI, islam yang munafikun dan kafirun dan cerita tentang surga dan neraka. Fakta yang benar dibolak-balik, dikalahkan oleh "dalil-dalil" yang tampak sangat meyakinkan.

Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin, sebenarnya, sudah berulang kali meminta agar kampanye di rumah ibadah dapat dicegah. Menurut Lukman Hakim Saifuddin, rumah ibadah, seperti masjid, gereja, wihara, ataupun tempat ibadah lain bukan tempat untuk mengampanyekan pasangan calon kepala daerah ataupun calon anggota legislatif. Namun, ya itu tadi, di beberapa (malah banyak) masjid, praktik politisasi terus terjadi.

"Berkampanye untuk pilih paslon ini, partai itu, atau caleg ini-itu di rumah ibadah harus dicegah," kata Lukman melalui akun Twitter pribadinya.

Masjid, menurut saya, memang tidak lah salah jika digunakan sebagai tempat untuk menyampaikan pengetahuan politik kepada umat, misalnya, menyampaikan tentang perlunya memupuk sikap saling menghormati perbedaan, jiwa toleransi dan persaudaraan. Masjid adalah tempat suci untuk menumbuhkan, membangun dan mempererat umat sekaligus sebagai pusat dimana kasih sayang kepada seluruh alam itu disemai dan disebar.

Kesimpulannya, Masjid itu bukan tempat untuk berpolitik praktis yang bernuansa politik kekuasaan, apalagi tempat untuk menghasut umat.

Seperti banyak ditulis di catatan-catatan sejarah Islam, dikisahkan bahwa Allah pun pernah melarang Nabi Muhammad SAW untuk melakukan shalat di masjid Ad-Dhirar, karena di dalam masjid itu terdapat ajakan dan unsur-unsur mengadu domba umat sehingga menyebabkan perpecahan. Hingga akhirnya, Rasulullah pun memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk membongkar dan menghancurkannya.

Agaknya, pembangunan gerakan politik melalui masjid, mungkin meniru apa yang pernah terjadi di Aljazair. Konon, kesuksesan partai Front Islamique du Salut, Front Keselamatan Islam (FIS) menjadi partai sangat berpengaruh karena kesuksesan mereka menggunakan masjid sebagai pusat aktivitas politik.

FIS dibentuk oleh Abbassi Madani dan Ali Belhadj. Madani adalah doktor lulusan Departemen Psikologi Universitas London dan Belhadj adalah guru sekolah dan khatib masjid. Mereka sangat piawai membangunan gerakan politik melalui masjid. Mirip seperi yang terjadi di Iran menjelang revolusi.  

Tahun politik 2019 kian dekat. Suhu politik sudah mulai manghangat. Media sosial akan ramai oleh lontaran-lontaran tak senonoh sebentar lagi. Kamus nyinyir yang pernah sangat popular dipakai di media sosial bakal bermunculan. "Yang aneh malah ada yang mengaku Muslim tapi malah di kubu penista agama yang dia anut, kaum munafikun dan kafirun."

Saya tetap mendoa -meski saya tidak yakin, agar masjid tetap lah menjadi masjid, tempat dimana kasih sayang kepada seluruh alam itu disemai dan disebar.

Salam damai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun