Masjid, menurut saya, memang tidak lah salah jika digunakan sebagai tempat untuk menyampaikan pengetahuan politik kepada umat, misalnya, menyampaikan tentang perlunya memupuk sikap saling menghormati perbedaan, jiwa toleransi dan persaudaraan. Masjid adalah tempat suci untuk menumbuhkan, membangun dan mempererat umat sekaligus sebagai pusat dimana kasih sayang kepada seluruh alam itu disemai dan disebar.
Kesimpulannya, Masjid itu bukan tempat untuk berpolitik praktis yang bernuansa politik kekuasaan, apalagi tempat untuk menghasut umat.
Seperti banyak ditulis di catatan-catatan sejarah Islam, dikisahkan bahwa Allah pun pernah melarang Nabi Muhammad SAW untuk melakukan shalat di masjid Ad-Dhirar, karena di dalam masjid itu terdapat ajakan dan unsur-unsur mengadu domba umat sehingga menyebabkan perpecahan. Hingga akhirnya, Rasulullah pun memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk membongkar dan menghancurkannya.
Agaknya, pembangunan gerakan politik melalui masjid, mungkin meniru apa yang pernah terjadi di Aljazair. Konon, kesuksesan partai Front Islamique du Salut, Front Keselamatan Islam (FIS) menjadi partai sangat berpengaruh karena kesuksesan mereka menggunakan masjid sebagai pusat aktivitas politik.
FIS dibentuk oleh Abbassi Madani dan Ali Belhadj. Madani adalah doktor lulusan Departemen Psikologi Universitas London dan Belhadj adalah guru sekolah dan khatib masjid. Mereka sangat piawai membangunan gerakan politik melalui masjid. Mirip seperi yang terjadi di Iran menjelang revolusi. Â
Tahun politik 2019 kian dekat. Suhu politik sudah mulai manghangat. Media sosial akan ramai oleh lontaran-lontaran tak senonoh sebentar lagi. Kamus nyinyir yang pernah sangat popular dipakai di media sosial bakal bermunculan. "Yang aneh malah ada yang mengaku Muslim tapi malah di kubu penista agama yang dia anut, kaum munafikun dan kafirun."
Saya tetap mendoa -meski saya tidak yakin, agar masjid tetap lah menjadi masjid, tempat dimana kasih sayang kepada seluruh alam itu disemai dan disebar.
Salam damai.