Bagian 32 --- Air yang Kembali ke Muara
Fajar merangkak pelan di langit Pajang. Kabut masih bergelayut di atas aliran sungai yang mengalir di balik keraton. Udara dingin, tapi dari arah dapur kerajaan mulai tercium aroma asap kayu, tanda kehidupan istana baru saja menggeliat. Di dalam biliknya, Sultan Hadiwijaya duduk bersandar di tikar pandan, berselimut kain lurik tua yang dulu dipakainya saat masih menjadi Jaka Tingkir.
Wajahnya menua, matanya tak lagi menyala seperti dulu, tapi sorotnya tetap dalam --- seperti air sungai yang tenang namun menyimpan arus di bawahnya. Di sisinya duduk dua orang abdi tua, Ki Wira dan Ki Sura, yang sejak muda mengikutinya dari masa Demak. Mereka tahu, hari-hari Gusti Sultan sudah semakin pendek.
"Ki Sura," suara Jaka Tingkir serak tapi jernih, "kau ingat Bengawan di waktu kita masih anak-anak?"
"Bagaimana hamba bisa lupa, Gusti. Bengawan itu yang menelan teman-teman kita dulu. Tapi juga Bengawan itu yang membawa Gusti sampai ke tahta."
Sultan tersenyum tipis. "Ya. Air yang sama bisa menelan dan mengangkat. Begitulah hidup. Kadang aku berpikir, mungkin aku tidak benar-benar menaklukkan sungai itu dulu... aku hanya dibawa oleh arusnya."
Ia terdiam sejenak, memandangi jari-jarinya yang kurus. Di luar, burung-burung pagi berkicau. Tapi di dalam dadanya, ada senyap yang lebih kuat dari suara apa pun.
Sejak seminggu terakhir, tubuhnya memang melemah. Tabib sudah dipanggil, doa sudah dipanjatkan, tapi ia tahu, waktu bukan sesuatu yang bisa ditawar oleh kekuasaan. Setiap malam, dalam tidur setengah sadar, ia sering bermimpi berjalan di tepi Bengawan. Airnya jernih, tapi di permukaannya, ia melihat bayangan masa mudanya sendiri: Joko Tingkir yang tertawa, menantang arus, menggenggam dayung, dan berteriak ke langit.
Kini ia hanya bisa tersenyum kecil mengingatnya. "Dulu aku pikir menjadi raja adalah puncak segalanya. Tapi ternyata, raja pun akhirnya harus pulang ke air yang sama."
Ki Wira menunduk. "Gusti, banyak orang luar datang dari Mataram. Mereka membawa kabar bahwa Raden Sutawijaya semakin disegani di sana. Ia membangun istananya sendiri, tapi masih mengaku setia pada Pajang."
Hadiwijaya menatap jauh ke luar jendela, ke arah timur, arah Mataram. Cahaya fajar memantul di wajahnya, membuat keriputnya terlihat seperti guratan peta lama --- peta yang menceritakan arah hidup manusia.