Joko Tingkir -- Bagian 30: Ombak dan Takhta Pajang
Bengawan masih beriak, meski pagi itu tenang. Kabut menipis pelan, seperti tabir yang ditarik dari wajah bumi. Dari kejauhan, terdengar suara ayam dan azan subuh bersahutan, menandai awal hari di tanah yang baru saja berumur. Pajang, yang semula hanya daerah pinggiran Demak, kini menjadi pusat arus baru sejarah.
Karebet berdiri di halaman pendapa bambu yang masih sederhana. Di belakangnya, tampak beberapa bekas prajurit Demak dan rakyat desa yang kini bekerja membangun lumbung, surau, dan rumah-rumah kayu. Tak ada benteng batu, tak ada dinding tinggi---yang ada hanya pagar hidup dari pohon randu dan pisang.
"Apakah ini yang Kanjeng sebut kerajaan?" tanya Ki Wuragil dengan nada separuh menggoda, separuh heran.
Karebet tersenyum kecil. "Kerajaan bukan pada singgasana, Wuragil. Tapi pada arah yang dituju oleh rakyatnya. Bila airnya jernih, ombaknya pun akan indah."
Menjelang siang, datang utusan dari Demak membawa surat bertuliskan cap merah Sultan Trenggana. Di situ tertulis pengangkatan resmi Joko Tingkir sebagai Adipati Pajang, dengan kewenangan penuh menjaga wilayah tengah Jawa. Surat itu disertai selendang sutra dan sebilah keris pusaka, tanda pengakuan sekaligus ujian kepercayaan.
Karebet membaca surat itu lama, lalu menatap langit. "Bila ini titah, aku terima. Tapi bila ini ujian, maka semoga aku lulus tanpa menumpahkan air."
Utusan menunduk, tak mengerti maksudnya. Tapi Ki Wuragil tahu: yang dimaksud "air" itu bukan sekadar sungai, melainkan darah manusia.
Hari-hari berikutnya, Pajang mulai berubah. Rakyat berdatangan dari Demak, Jipang, bahkan Tuban. Mereka membawa hasil bumi, keahlian, dan harapan baru. Sungai-sungai yang dulunya sepi kini ramai oleh perahu kecil membawa padi dan ikan.
Di pelataran pendapa, Karebet sering duduk memandangi pergerakan itu. "Lihatlah, Wuragil," katanya suatu sore. "Ombak tidak datang sendiri. Ia lahir dari pertemuan air dan angin. Begitu juga kerajaan---lahir dari pertemuan rakyat dan cita-cita."