Joko Tingkir -- Bagian 29: Air yang Naik Menjadi Ombak
Langit pagi di utara Demak berwarna keemasan. Kabut dari rawa-rawa mulai menyingkir, memberi jalan pada matahari yang perlahan menanjak dari timur. Di atas kudanya, Karebet menatap jauh ke depan---ke arah tanah yang disebut Pajang.
Angin bertiup lembut, membawa bau air dan lumpur, tanda bahwa sungai-sungai di sekitar Bengawan sudah mulai pasang.
"Air sedang naik," ujar Ki Wuragil, menatap aliran sungai yang melimpah ke ladang.
Karebet tersenyum samar. "Dan bila air naik, ombak pun akan lahir. Tapi bukan untuk menenggelamkan, melainkan untuk mengubah bentuk daratan."
Perjalanan mereka melewati desa-desa yang dulu menjadi wilayah kecil bawahan Demak. Rakyat keluar dari gubuk, menunduk memberi hormat ketika melihat rombongan lewat. Tidak ada sorak, tidak ada gegap gempita, tapi dalam diam mereka tahu: yang lewat bukan sekadar panglima. Ia adalah orang yang membawa arah baru bagi tanah Jawa.
Menjelang siang, mereka tiba di tepi Bengawan. Di sana sudah menunggu beberapa prajurit lama yang dulu ikut dalam penaklukan Panarukan. Salah satunya, Ki Rangga Jati, menghaturkan sembah.
"Prajurit Pajang siap tunduk, Kanjeng. Rakyat di sini ingin punya pelindung, bukan penagih pajak."
Karebet turun dari kudanya. Ia menatap air sungai yang mengalir deras. "Aku bukan datang untuk menaklukkan, Rangga. Aku hanya ingin air mengalir dengan jernih, tanpa kotoran dari hulu."
Ki Rangga mengangguk. "Tapi untuk itu, harus ada bendungan, Kanjeng."
Karebet menatapnya dalam. "Dan bendungan itu bukan dari batu, melainkan dari kepercayaan."