Waktu dan Wajah yang Tak Pernah Sama
Menjelang pukul 11.30, tur di stasiun berakhir. Kami kembali ke ruang utama yang kini terang oleh cahaya dari jendela tinggi. Beberapa peserta duduk sambil meneguk air minum, sebagian lain masih mencari sudut terbaik untuk foto terakhir.
Saya memandangi dinding stasiun---lapisan cat putih yang menua, kaca berdebu yang tetap memantulkan cahaya lembut. Mungkin inilah alasan WKJ selalu ramai peminat: mereka tak sekadar mengajak orang melihat bangunan tua, tapi menghidupkan denyutnya.
Saat grup Crazy Rich pimpinan Mbak Ira kembali bergabung, suasana makin riuh.
"Gimana, Tajir Melintir?" sapa Mbak Ira.
Kami menjawab serempak dengan tawa.
"Kalau begitu, ayo siap-siap. Kita lanjut ke Museum Maritim!" katanya.
Suara azan zuhur terdengar lembut dari kejauhan, menggema di antara dinding tua stasiun. Kami berjalan keluar perlahan, menyeberangi jalan menuju arah pelabuhan. Matahari menyorot dari celah awan, memantul di atap seng dan jendela kaca yang berkilau.
Saya menoleh ke belakang. Stasiun Tanjung Priok berdiri kokoh, seperti sosok tua yang tahu banyak rahasia tapi memilih diam.
Dalam perjalanan pulang nanti, mungkin tak semua orang akan mengingat tahun pembangunan atau nama arsiteknya. Tapi yang akan melekat justru suasananya: tawa di tangga melingkar, aroma besi dan debu, serta cerita kecil yang lahir di sela langkah.
Stasiun ini, meski sudah ratusan kali dilalui, selalu memberi alasan untuk dikunjungi kembali---seperti Jakarta sendiri yang tak pernah selesai diceritakan.
Dan di antara langkah-langkah itu, WKJ sekali lagi membuktikan: tur bukan sekadar berjalan, tapi belajar melihat kota dengan hati yang terbuka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI