Di bawah lengkung baja dan kaca tua yang pernah menyambut kapal uap dari jauh, kami berdiri---mencium bau sejarah yang tak sepenuhnya pergi. Stasiun Tanjung Priok bukan sekadar tempat kereta berhenti, tapi tempat kenangan menunggu penumpangnya kembali."
Jam menunjukkan lebih dari pukul 09.45 ketika KRL dari Kampung Bandan akhirnya berhenti perlahan di Stasiun Tanjung Priok. Suara pengeras di peron terdengar samar, bercampur gema langkah kaki para penumpang yang menuruni tangga kayu begitu keluar dari gerbong.
Saya ikut turun, menatap sejenak bangunan tua yang berdiri megah di hadapan---seakan tak lekang oleh waktu, meski umur resminya sudah lebih dari seabad. Satu per satu kami berbaris, berjalan menuju bangunan utama stasiun.
Walau sudah beberapa kali mampir ke sini, setiap kali menatap langit-langit tinggi dengan rangka baja melengkung, saya selalu terpesona. Lengkungan itu memberi kesan monumental khas bangunan era Hindia Belanda awal abad ke-20. Cahaya matahari menembus kisi-kisi kaca di bagian atas, menciptakan siluet dramatis di antara deretan rel dan kereta.
Di sisi kiri, tampak rangkaian KRL putih bergaris merah. Di tengah kerumunan, orang-orang berjalan ke arah yang sama---sebagian baru turun, sebagian lagi hendak naik. Suasana ramai tapi teratur, semacam pertemuan antara nostalgia dan mobilitas masa kini.
Beberapa kontainer bertuliskan Seaco di sisi kanan mempertegas bahwa stasiun ini masih menjadi simpul penting antara jalur penumpang dan barang di kawasan pelabuhan utara Jakarta.
Wajah-Wajah Ceria di Pagi yang Cerah
Di ruang tunggu dan beranda stasiun, wajah-wajah ceria mulai bermunculan. Ada Pak Sutiono yang selalu hadir paling awal dalam setiap acara, Nurul yang kalem dan percaya diri, dan Mas Daniel yang tampak gagah dengan kaos birunya. Beberapa peserta lain mengenakan kaos merah---dress code pilihan dari WKJ, Wisata Kreatif Jakarta. Sebagian sudah saya kenal, sebagian lagi masih asing.
Pukul 09.55 kami semua sudah berkumpul bersama Mbak Ira dan Mbak Mutiah. Keduanya memakai "seragam kebesaran" WKJ: kaos merah dengan lengan putih. Tepat pukul 10 pagi, lagu kebangsaan berkumandang dari pengeras suara stasiun. Kami berdiri dan menyanyikan Indonesia Raya dengan penuh semangat. Baru kali ini saya ikut tur yang dimulai seperti upacara!
Setelah itu, Mbak Ira dan Mbak Mutiah memperkenalkan diri.
"Ira, singkatan dari Idaman Rakyat!" katanya, membuat semua tertawa.
"Kalau saya, Mutiah: Imut dan Setia!" sahut rekannya tak mau kalah.
Suasana langsung cair. Begitulah cara WKJ memulai tur: bukan dengan sambutan resmi, melainkan dengan tawa yang membuat semua terasa akrab.
Dua Grup, Dua Gaya
Setelah perkenalan, pembagian grup pun dilakukan.
"Grup saya namanya Crazy Rich!" seru Mbak Ira penuh gaya.
"Kalau yang ikut saya," tambah Mbak Mutiah cepat, "kita Tajir Melintir!"
Saya dan Pak Sutiono bergabung di grup Tajir Melintir. Sejak awal sudah terasa bahwa ini bukan tur yang kaku. WKJ memang terkenal dengan gaya ceritanya yang hidup dan berjiwa---sejarah disampaikan dengan humor, tanpa kehilangan makna.
Tur pun dimulai. Bangunan stasiun berdiri gagah, seolah masih menyimpan gema masa lalu Batavia. Langit pagi yang cerah membuat detail arsitekturnya semakin jelas: deretan jendela lengkung tinggi, pilar bergaya neoklasik, dan kubah besar di tengah bangunan yang tampak memayungi seluruh ruang.
"Ini karya arsitek Belanda, Ir. C.W. Koch," jelas Mbak Mutiah sambil menunjuk sebuah prasasti di dinding. "Dibangun tahun 1914, tapi baru diresmikan 1925, bersamaan dengan beroperasinya kereta listrik pertama di Hindia Belanda."
Ia menambahkan, "Waktu itu, Stasiun Tanjung Priok adalah yang paling modern. Bayangkan---sudah ada jalur listrik, ruang tunggu luas, bahkan ruang dansa dan hotel."
Jejak Masa Lalu di Dinding dan Tangga
Kami melangkah ke ruang samping yang sedang direnovasi. Bau cat masih terasa, tapi Mbak Mutiah tetap antusias menjelaskan. Di lantai, tampak beberapa daun pintu tua berwarna cokelat tua.
"Itu pintu asli," katanya, "dari zaman Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij---perusahaan kereta Hindia Belanda dulu."
Dari situ kami menaiki tangga melingkar yang sempit menuju dapur di lantai atas. Kami naik satu per satu dengan hati-hati. Di ruang dapur itu, Mbak Mutiah menunjuk lift kecil yang dulu dipakai untuk mengantar makanan.
"Di sayap kiri stasiun juga ada dapur serupa," ujarnya. "Yang kanan ini untuk orang Belanda, sedangkan bagian kiri untuk pribumi."
Selain lift, kami juga melihat cerobong asap tua. Waktu terasa berhenti di ruangan itu, tapi bukan dalam arti membosankan. Justru di keheningan semacam inilah sejarah terasa hidup.
Ke Atap yang Menyimpan Langit dan Kenangan
Perjalanan berlanjut ke bagian atap bangunan---dicapai lewat tangga melingkar yang lebih sempit lagi. Begitu sampai di atas, pemandangan menebus semua rasa lelah. Dari sini, lengkung baja atap terlihat sangat dekat, sementara di kejauhan tampak kapal dan peti kemas di Pelabuhan Priok seperti miniatur.
"Stasiun ini memang dibangun agar terhubung langsung dengan pelabuhan," jelas Mbak Mutiah. "Dulu orang Belanda bisa turun dari kapal dan langsung naik kereta menuju Batavia."
Saya teringat pernah membaca bahwa di lantai dua dulu terdapat hotel bagi penumpang yang baru datang dari negeri Belanda.
"Bukankah stasiun ini sempat ditutup, Mbak?" tanya saya.
"Iya," jawabnya. "Sekitar awal 2000-an sempat berhenti beroperasi karena aktivitas pelabuhan menurun dan rel rusak. Baru dibuka lagi untuk KRL tahun 2009, setelah renovasi besar-besaran. Tapi bentuk aslinya tetap dipertahankan."
Ia lalu menunjukkan foto hitam putih stasiun zaman dulu di ponselnya, membandingkannya dengan kondisi kini. Kami pun berfoto bersama di atap itu---sebuah momen kecil yang terasa berharga.
Peron, Foto, dan Cermin Amsterdam
Kami turun kembali menuju peron utama. Di sebelah barat, ada kereta barang terbuka yang langsung menjadi latar foto favorit peserta. Satu per satu naik dan berpose, sampai akhirnya seorang petugas datang mengingatkan.
Mbak Mutiah sempat bertanya, "Kira-kira stasiun ini mirip dengan stasiun mana di Belanda?"
"Stasiun Centraal di Amsterdam," jawab saya spontan.
Benar saja, atap melengkung baja dan cahaya yang menembus kaca di atas membuat keduanya tampak sejiwa---bedanya, kalau di Amsterdam ada lima belas peron, di sini hanya delapan. Tapi atmosfernya tak kalah megah.
Waktu dan Wajah yang Tak Pernah Sama
Menjelang pukul 11.30, tur di stasiun berakhir. Kami kembali ke ruang utama yang kini terang oleh cahaya dari jendela tinggi. Beberapa peserta duduk sambil meneguk air minum, sebagian lain masih mencari sudut terbaik untuk foto terakhir.
Saya memandangi dinding stasiun---lapisan cat putih yang menua, kaca berdebu yang tetap memantulkan cahaya lembut. Mungkin inilah alasan WKJ selalu ramai peminat: mereka tak sekadar mengajak orang melihat bangunan tua, tapi menghidupkan denyutnya.
Saat grup Crazy Rich pimpinan Mbak Ira kembali bergabung, suasana makin riuh.
"Gimana, Tajir Melintir?" sapa Mbak Ira.
Kami menjawab serempak dengan tawa.
"Kalau begitu, ayo siap-siap. Kita lanjut ke Museum Maritim!" katanya.
Suara azan zuhur terdengar lembut dari kejauhan, menggema di antara dinding tua stasiun. Kami berjalan keluar perlahan, menyeberangi jalan menuju arah pelabuhan. Matahari menyorot dari celah awan, memantul di atap seng dan jendela kaca yang berkilau.
Saya menoleh ke belakang. Stasiun Tanjung Priok berdiri kokoh, seperti sosok tua yang tahu banyak rahasia tapi memilih diam.
Dalam perjalanan pulang nanti, mungkin tak semua orang akan mengingat tahun pembangunan atau nama arsiteknya. Tapi yang akan melekat justru suasananya: tawa di tangga melingkar, aroma besi dan debu, serta cerita kecil yang lahir di sela langkah.
Stasiun ini, meski sudah ratusan kali dilalui, selalu memberi alasan untuk dikunjungi kembali---seperti Jakarta sendiri yang tak pernah selesai diceritakan.
Dan di antara langkah-langkah itu, WKJ sekali lagi membuktikan: tur bukan sekadar berjalan, tapi belajar melihat kota dengan hati yang terbuka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI