Tur pun dimulai. Bangunan stasiun berdiri gagah, seolah masih menyimpan gema masa lalu Batavia. Langit pagi yang cerah membuat detail arsitekturnya semakin jelas: deretan jendela lengkung tinggi, pilar bergaya neoklasik, dan kubah besar di tengah bangunan yang tampak memayungi seluruh ruang.
"Ini karya arsitek Belanda, Ir. C.W. Koch," jelas Mbak Mutiah sambil menunjuk sebuah prasasti di dinding. "Dibangun tahun 1914, tapi baru diresmikan 1925, bersamaan dengan beroperasinya kereta listrik pertama di Hindia Belanda."
Ia menambahkan, "Waktu itu, Stasiun Tanjung Priok adalah yang paling modern. Bayangkan---sudah ada jalur listrik, ruang tunggu luas, bahkan ruang dansa dan hotel."
Jejak Masa Lalu di Dinding dan Tangga
Kami melangkah ke ruang samping yang sedang direnovasi. Bau cat masih terasa, tapi Mbak Mutiah tetap antusias menjelaskan. Di lantai, tampak beberapa daun pintu tua berwarna cokelat tua.
"Itu pintu asli," katanya, "dari zaman Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij---perusahaan kereta Hindia Belanda dulu."
Dari situ kami menaiki tangga melingkar yang sempit menuju dapur di lantai atas. Kami naik satu per satu dengan hati-hati. Di ruang dapur itu, Mbak Mutiah menunjuk lift kecil yang dulu dipakai untuk mengantar makanan.
"Di sayap kiri stasiun juga ada dapur serupa," ujarnya. "Yang kanan ini untuk orang Belanda, sedangkan bagian kiri untuk pribumi."
Selain lift, kami juga melihat cerobong asap tua. Waktu terasa berhenti di ruangan itu, tapi bukan dalam arti membosankan. Justru di keheningan semacam inilah sejarah terasa hidup.
Ke Atap yang Menyimpan Langit dan Kenangan
Perjalanan berlanjut ke bagian atap bangunan---dicapai lewat tangga melingkar yang lebih sempit lagi. Begitu sampai di atas, pemandangan menebus semua rasa lelah. Dari sini, lengkung baja atap terlihat sangat dekat, sementara di kejauhan tampak kapal dan peti kemas di Pelabuhan Priok seperti miniatur.
"Stasiun ini memang dibangun agar terhubung langsung dengan pelabuhan," jelas Mbak Mutiah. "Dulu orang Belanda bisa turun dari kapal dan langsung naik kereta menuju Batavia."
Saya teringat pernah membaca bahwa di lantai dua dulu terdapat hotel bagi penumpang yang baru datang dari negeri Belanda.
"Bukankah stasiun ini sempat ditutup, Mbak?" tanya saya.
"Iya," jawabnya. "Sekitar awal 2000-an sempat berhenti beroperasi karena aktivitas pelabuhan menurun dan rel rusak. Baru dibuka lagi untuk KRL tahun 2009, setelah renovasi besar-besaran. Tapi bentuk aslinya tetap dipertahankan."
Ia lalu menunjukkan foto hitam putih stasiun zaman dulu di ponselnya, membandingkannya dengan kondisi kini. Kami pun berfoto bersama di atap itu---sebuah momen kecil yang terasa berharga.
Peron, Foto, dan Cermin Amsterdam
Kami turun kembali menuju peron utama. Di sebelah barat, ada kereta barang terbuka yang langsung menjadi latar foto favorit peserta. Satu per satu naik dan berpose, sampai akhirnya seorang petugas datang mengingatkan.
Mbak Mutiah sempat bertanya, "Kira-kira stasiun ini mirip dengan stasiun mana di Belanda?"
"Stasiun Centraal di Amsterdam," jawab saya spontan.
Benar saja, atap melengkung baja dan cahaya yang menembus kaca di atas membuat keduanya tampak sejiwa---bedanya, kalau di Amsterdam ada lima belas peron, di sini hanya delapan. Tapi atmosfernya tak kalah megah.