Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kebijakan Fiskal dalam Perspektif Global

24 September 2025   23:04 Diperbarui: 24 September 2025   23:04 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebijakan Fuskal : skrinsyut 

Artikel 3

Kebijakan Fiskal dalam Perspektif Global dan Refleksi untuk Indonesia

Kalau di dua artikel sebelumnya kita sudah membahas teori dasar dan praktik di Indonesia, kali ini kita coba melangkah keluar negeri. Bukan untuk membandingkan dengan rasa rendah diri, melainkan untuk belajar: apa yang bisa kita ambil dari pengalaman negara lain? Dan bagaimana refleksinya untuk kebijakan fiskal Indonesia ke depan?

Sebab, meski tiap negara punya kondisi unik, ada pola yang bisa dipelajari. Pajak dan belanja negara bukan hanya soal angka, melainkan cermin filosofi sebuah bangsa: apa yang dianggap penting, siapa yang dilindungi, dan bagaimana kesejahteraan dibagi. Mari kita mulai perjalanan ini.

Skandinavia: Pajak Tinggi, Jaminan Sosial Kuat

Negara-negara Skandinavia seperti Swedia, Norwegia, dan Denmark sering disebut sebagai contoh welfare state sukses. Pajaknya tinggi---bahkan bisa mencapai 40--50% dari penghasilan. Namun masyarakat rela membayar karena merasa mendapatkan timbal balik: pendidikan gratis, kesehatan gratis, tunjangan pengangguran, hingga pensiun layak.

Di sini terlihat hubungan erat antara pajak dan kepercayaan publik. Warga membayar pajak karena percaya uang itu tidak bocor. Negara menggunakan belanja publik untuk memastikan tidak ada yang tertinggal.

Refleksi untuk Indonesia: pajak tinggi mungkin sulit diterapkan karena kepercayaan publik pada pemerintah belum setinggi itu. Sebelum menaikkan pajak, pemerintah harus membuktikan dulu bahwa uang rakyat benar-benar digunakan untuk rakyat, bukan untuk belanja birokrasi yang boros.

Amerika Serikat: Pajak Rendah, Tanggung Jawab Individu

Sebaliknya, Amerika Serikat menganut sistem yang lebih liberal. Pajaknya relatif lebih rendah dibanding Eropa, tetapi jaminan sosial tidak sekuat Skandinavia. Kesehatan, misalnya, lebih banyak bergantung pada asuransi swasta. Pendidikan tinggi juga mahal.

Pemerintah tetap berperan, tetapi lebih sebagai penjamin stabilitas ekonomi daripada penyedia layanan publik penuh.

Refleksi untuk Indonesia: apakah kita ingin meniru sistem seperti ini? Mungkin tidak sepenuhnya cocok. Dengan tingkat ketimpangan yang masih tinggi, membiarkan rakyat bersaing sendiri tanpa perlindungan negara justru bisa memperlebar jurang kaya-miskin.

Jepang: Disiplin Fiskal, Tantangan Populasi

Jepang punya cerita unik. Setelah hancur akibat Perang Dunia II, Jepang bangkit dengan disiplin fiskal dan investasi besar pada pendidikan serta teknologi. Pajak digunakan untuk membangun industri, dan belanja publik diarahkan pada infrastruktur modern.

Namun kini Jepang menghadapi masalah baru: populasi menua. Belanja pensiun dan kesehatan melonjak, sementara basis pajak menyempit karena angkatan kerja berkurang. Akibatnya, utang publik Jepang mencapai lebih dari 200% PDB---tertinggi di dunia.

Refleksi untuk Indonesia: kita masih punya bonus demografi, tetapi kalau tidak dikelola dengan baik, kita bisa menghadapi masalah serupa di masa depan. Kebijakan fiskal harus memikirkan jangka panjang, bukan hanya kepentingan lima tahunan.

Tiongkok: Fiskal Sebagai Alat Strategis

Tiongkok menggunakan kebijakan fiskal sebagai senjata pembangunan. Pajak relatif rendah untuk mendorong investasi, sementara belanja negara diarahkan pada infrastruktur masif: jalan tol, kereta cepat, pelabuhan, energi.

Selain itu, pemerintah Tiongkok juga berani mengambil utang besar untuk membiayai proyek jangka panjang. Kritiknya, sebagian proyek menjadi white elephant (gajah putih) yang tidak produktif. Namun dalam banyak hal, strategi ini berhasil membuat Tiongkok menjadi ekonomi terbesar kedua dunia.

Refleksi untuk Indonesia: pembangunan infrastruktur penting, tetapi harus disertai perencanaan matang. Jalan tol atau kereta cepat harus benar-benar memberi manfaat ekonomi, bukan sekadar monumen politik.

Kolombia dan Amerika Latin: Pajak Lemah, Ketimpangan Tinggi

Negara-negara Amerika Latin seperti Kolombia, Brasil, dan Argentina menghadapi masalah klasik: penerimaan pajak rendah, sementara belanja sosial tinggi. Akibatnya, utang publik menumpuk dan inflasi sering tidak terkendali.

Di Kolombia, tax ratio hanya sekitar 13% PDB. Korupsi dan ekonomi informal membuat basis pajak sempit. Padahal belanja sosial besar untuk mengatasi kemiskinan dan konflik bersenjata.

Refleksi untuk Indonesia: kita punya masalah serupa, tax ratio rendah dan ekonomi informal besar. Jika tidak ada reformasi serius, kita bisa jatuh ke jebakan yang sama: fiskal rapuh dan sulit mandiri.

Pelajaran dari Dunia: Tidak Ada Resep Tunggal

Dari contoh di atas, kita bisa simpulkan: tidak ada satu model kebijakan fiskal yang sempurna. Semua tergantung pada konteks sejarah, budaya, dan kepercayaan masyarakat.
*Skandinavia sukses karena kepercayaan publik tinggi.
*Amerika Serikat kuat karena tradisi liberal.
*Jepang maju dengan disiplin, tapi kini terbebani demografi.
*Tiongkok agresif membangun, tapi menanggung risiko utang.
*Amerika Latin berjuang dengan penerimaan pajak yang lemah.

Indonesia harus memilih jalannya sendiri. Tidak cukup hanya meniru, tetapi perlu menyesuaikan dengan realitas sosial-politik kita.

Tantangan Fiskal Indonesia ke Depan

Kalau kita rangkum, ada beberapa tantangan besar yang akan dihadapi Indonesia:
1.Meningkatkan tax ratio Reformasi perpajakan harus konsisten agar penerimaan stabil.
2.Mengendalikan utang Utang boleh dipakai, tapi jangan sampai jadi jebakan.
3.Belanja yang produktif Fokus pada pendidikan, kesehatan, dan riset, bukan hanya infrastruktur fisik.
4.Menghadapi perubahan demografi Bonus demografi harus dimanfaatkan sebelum berubah jadi beban demografi.
5.Krisis iklim Belanja negara ke depan juga harus memperhatikan transisi energi dan mitigasi bencana alam.

Refleksi Mahasiswa: Dari Teori ke Empati

Belajar kebijakan fiskal bukan sekadar menghafal angka defisit atau tax ratio. Intinya adalah empati: bagaimana kebijakan pajak dan belanja memengaruhi kehidupan sehari-hari rakyat.

Kalau pajak dinaikkan, apakah rakyat kecil terbebani? Kalau subsidi dipotong, siapa yang paling terdampak? Kalau utang ditambah, siapa yang akan menanggung di masa depan?

Kebijakan fiskal pada akhirnya adalah pilihan moral: siapa yang dikorbankan, siapa yang diselamatkan, dan siapa yang diuntungkan.

Penutup: Fiskal sebagai Cermin Bangsa

Di kelas teori, kebijakan fiskal tampak seperti soal teknis: pendapatan, pengeluaran, defisit. Tetapi ketika kita melihat praktik di berbagai negara, kita sadar: fiskal adalah cermin bangsa.

Negara yang percaya pada solidaritas memilih pajak tinggi untuk jaminan sosial. Negara yang percaya pada kebebasan individu memilih pajak rendah dan tanggung jawab pribadi. Negara yang ingin cepat besar memilih belanja infrastruktur masif.

Indonesia harus memilih jalannya sendiri. Jalan yang sesuai dengan sejarah, budaya, dan kebutuhan rakyatnya.

Sebagai mahasiswa yang mempelajari kebijakan publik, kita diajak bukan hanya menjadi pengamat, tetapi juga calon perancang. Sebab suatu saat, keputusan fiskal ada di tangan kita---apakah untuk membangun jalan, memberi subsidi, atau menambah pajak. Pilihan itu tidak pernah netral, dan dampaknya akan dirasakan generasi mendatang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun