Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Terpesona Langen Kesuma, Prajurit Anggun Keraton Yogya

6 September 2025   21:42 Diperbarui: 7 September 2025   07:53 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lambang lambang. (Dokumentasi Pribadi)

Pagi itu, langit Yogyakarta berhiaskan awan tipis ketika saya melangkahkan kaki menuju Alun-alun Utara. Dari jalan Taman saya berbelok ke kiri, kemudian memotong jalan menuju Sidomukti dan Rotowijayan untuk sejenak beristirahat di depan Museum Wahanarata. 

Jalanan di sekitar alun-alun sudah ramai. Orang-orang berdatangan dari berbagai penjuru: ada yang berbusana tradisional, ada pula yang mengenakan pakaian kasual. Beberapa turis asing tampak antusias mengabadikan momen dengan kamera mereka.

Alun alun utara. (Dokumentasi Pribadi)
Alun alun utara. (Dokumentasi Pribadi)

Baca juga: Joko Tingkir Bag 9

Awalnya saya berniat menuju Masjid Gedhe Kauman, tetapi rencana berubah begitu melihat massa yang sudah sangat padat di sebelah barat alun-alun. Daripada terjebak di arus peziarah dan pedagang, saya memutuskan mengubah arah, bukan lagi ke masjid, melainkan ke Keraton. 

Di sanalah gunungan akan keluar, arak-arakan abdi dalem akan melintas dengan pakaian adat lengkap, membawa aroma masa lalu yang masih hidup di antara tembok putih dan regol megah.

Di halaman, banyak pedagang menjajakan berbagai makanan dan minuman, termasuk es dawet yang tampaknya menjadi favorit. Kerumunan massa menunggu prosesi Grebeg Maulid yang akan keluar dari Keraton. Selain berkumpul di tepian jalan, banyak juga yang duduk santai di pedestrian. 

Pagi itu istimewa, bukan hanya sekadar Grebeg Maulid, melainkan Grebeg Maulud pada tahun Dal yang hanya ada setiap delapan tahun sekali.

Keraton Yogya. (Dokumentasi Pribadi)
Keraton Yogya. (Dokumentasi Pribadi)

Di pojok pintu masuk kawasan keraton, saya membeli tiket masuk seharga Rp20.000 untuk menyaksikan perayaan ini langsung dari dalam.

"Maaf, Bapak, tempat duduk sudah habis, tapi bisa masuk dan mengikuti acara sambil berdiri," kata petugas di loket.

"Ah, kapan lagi bisa melihat prosesi prajurit dan gunungan dari dalam keraton," batin saya. Dengan langkah mantap, saya pun masuk ke kompleks keraton.

Gerbang Keraton: Aroma Sejarah dan Riuh Manusia

Waktu menunjukkan pukul 08.30. Menurut jadwal, acara dimulai pukul 09.00. Suasana sudah sangat ramai. Kursi-kursi di pendopo penuh, sebagian pengunjung duduk di lantai atau di bawah pepohonan. Saya memilih duduk di dekat pohon. Walau tidak kebagian kursi, saya tetap bisa menyaksikan prosesi dari jarak dekat.

Suasana di Keraton. (Dokumentasi Pribadi)
Suasana di Keraton. (Dokumentasi Pribadi)

Suasana keraton terasa semakin hidup. Sejenak, saya menatap pendopo luas dengan atap seng kemerahan yang tampak dimakan usia, namun justru di situlah letak keindahannya. Warna cat hijau tua pada tiang-tiang besi berpadu dengan lantai batu yang licin, menciptakan nuansa yang tenang di tengah keramaian.

Di salah satu sudut, ada bangunan kecil seperti gardu yang tampaknya digunakan untuk menyimpan perlengkapan kebersihan. Halamannya dilapisi lantai tegel bermotif klasik. Di depannya, orang-orang duduk santai---sebagian sibuk dengan ponsel, sebagian lagi bercakap sambil menunggu acara dimulai. Petugas PMI juga tampak siaga, menandakan bahwa keramaian hari ini bukan keramaian biasa. Ini Grebeg Maulid, salah satu tradisi besar Keraton Yogyakarta.

Kebanyakan pengunjung duduk di pendapa besar dengan tiang kayu jati yang menjulang. Lantainya bersih mengilap. Di sudut lain, beberapa abdi dalem duduk bersila, mengenakan busana surjan dan blangkon. Wajah mereka teduh, gerakannya pelan, seperti patung hidup yang menjaga aura keraton.

Saya memandang sekeliling. Barisan kursi merah di bawah pohon besar dipenuhi pengunjung yang menunggu prosesi. Mereka datang dari berbagai penjuru, ada yang membawa kipas lipat, ada yang sibuk memotret, ada yang bercakap antusias. Semua mata tertuju ke arah Bangsal Kencana, pusat upacara Grebeg Maulid.

Di kejauhan tampak gerbang utama keraton dengan ornamen khas hijau dan putih, berhias lambang kerajaan yang megah. Bendera merah putih berjajar, menambah kesan khidmat. Di dalam bangsal, seperangkat gamelan tertata rapi. Suara nada pelog pelan mulai mengalun, mengisi ruang dengan rasa sakral.

Di seberang sana, ada pendopo dengan tiang berukir emas menyangga atap joglo. Di bawahnya, sebuah mobil antik hitam diletakkan seperti benda pusaka---saksi bisu perjalanan keraton, pertemuan antara tradisi dan modernitas. Kontras yang menarik: di satu sisi gamelan kuno, di sisi lain mobil klasik, berdampingan di satu ruang yang sama.

Langit berawan, sesekali matahari muncul. Sinar jatuh di lantai batu yang licin, menciptakan kilauan samar. Suara gamelan kini semakin jelas, temponya bertambah. Jantung saya ikut berdegup, prosesi besar sebentar lagi dimulai. Pengunjung bersiap menyambut keluarnya bregada prajurit keraton.

Lambang lambang. (Dokumentasi Pribadi)
Lambang lambang. (Dokumentasi Pribadi)

Barisan Prajurit: Warna, Irama, dan Wibawa

Prosesi dimulai dengan panji-panji kerajaan dan beberapa ekor gajah, disusul kuda gagah. Mereka berjalan anggun, seakan mengisahkan kembali kejayaan Mataram masa lampau.

Lalu yang dinanti muncul. Satu per satu, bregada prajurit keraton melangkah dengan irama teratur. Suara gendhing mengiringi setiap hentakan kaki. Saya terpaku. Di hadapan saya, sejarah berjalan dalam wujud manusia berseragam indah.

Kuda. (Dokumentasi Pribadi)
Kuda. (Dokumentasi Pribadi)

Pasukan prajurit keraton memasuki halaman. Mereka mengenakan seragam merah menyala, kontras dengan pepohonan hijau dan langit biru yang mulai cerah. Topi lancip menjulang tinggi, kaus kaki putih bersih, dan tombak panjang menambah kesan gagah. Barisan mereka rapi, langkah teratur, seolah waktu berhenti memberi ruang pada tradisi berusia ratusan tahun ini.

Di barisan terdepan, Prajurit Wirobrojo gagah dengan seragam merah mencolok, rompi bergaris putih, dan celana hitam. Tombak mereka berkilat terkena sinar matahari. Wajah mereka serius, tatapan lurus.

Bregade. (Dokumentasi Pribadi)
Bregade. (Dokumentasi Pribadi)

Di belakangnya, Ketanggung dengan seragam putih bersih membawa senapan laras panjang. Lalu Dhaeng dengan baju merah menyala, terinspirasi dari prajurit Bugis-Makassar. Ada juga Mantrijero elegan dalam hijau tua, lengkap dengan hiasan kepala menjulang.

Setiap bregada punya ciri khas. Nyutro sederhana dengan pakaian putih, Jagakarya gagah dalam hitam. Prawirotomo berwibawa, melambangkan prajurit pilihan. Saya mencatat satu per satu, tak ingin melewatkan detail. Ini bukan sekadar pawai, ini ensiklopedia hidup.

Dua prajurit. (Dokumentasi Pribadi)
Dua prajurit. (Dokumentasi Pribadi)

Saya juga memperhatikan dua prajurit berseragam hitam dengan kancing perak, sabuk merah, dan topi besar khas kuluk kanigaran. Mereka memegang tombak panjang, berdiri gagah. Dan yang membuat saya terperangah: Bregada Langen Kusuma.

Langen Kusuma: Keanggunan yang Kembali Hidup

Bregada perempuan ini mengenakan pakaian hijau tua dengan jarik batik, dilengkapi stagen merah di pinggang, serta tameng bulat berhias motif kuning-hitam. Setiap prajurit memegang tombak, rambut tersanggul rapi, menampilkan kesan anggun namun tegas.

Prajurit perempuan. (Dokumentasi Pribadi)
Prajurit perempuan. (Dokumentasi Pribadi)

Di belakang mereka, dua payung kebesaran (songsong) merah-putih dan merah-keemasan, simbol kebesaran keraton. Kehadiran pasukan wanita ini menambah kekayaan visual prosesi, menunjukkan bahwa tradisi ini bukan hanya milik pria, tetapi juga perempuan.

Mereka muncul seperti bayangan masa lalu yang hidup kembali. Bregada Langen Kusuma, pasukan perempuan yang konon ada di masa Sultan Hamengkubuwono I, lalu hilang, kini kembali. Pesannya jelas: perempuan juga penjaga adat.

Busana mereka bukan sekadar kebaya. Kebaya prajurit dengan jarik batik klasik, selendang tersampir, sanggul berhias melati. Setiap langkah pelan, ritmis, tetapi penuh wibawa. Tidak ada senyum berlebihan, hanya sorot mata mantap.

Saya bergumam pelan, "Berjalan anggun, cantik, tapi berwibawa." Mereka membawa tombak kecil, bukan aksesori, melainkan simbol kekuatan. Di tengah keramaian, mereka menjadi magnet. Semua kamera mengarah pada mereka, tetapi mereka tetap fokus, seperti prajurit sejati.

Kenapa pasukan ini dihidupkan kembali? Dari catatan yang saya baca, tujuannya melestarikan sejarah dan menunjukkan peran strategis perempuan dalam budaya Jawa---bukan pelengkap, tetapi penjaga nilai.

Di Antara Gagah dan Jenaka: Barisan Pelawak

Namun Grebeg Maulid tidak selalu serius. Di antara prajurit gagah, muncul barisan pelawak. Mereka berpakaian nyentrik, ada yang berkumis ala Bagong, ada yang membawa payung lusuh sambil bergaya seperti komandan. Sebagian wajah dihiasi bedak dan gincu tebal.

Tawa pecah di antara penonton. Anak-anak berlarian sambil menunjuk mereka. Saya ikut tersenyum. Tradisi ini memang sakral, tetapi ada ruang untuk humor. Sejak dulu, pelawak dihadirkan untuk menghibur rakyat---kebesaran tak harus kaku.

Gunungan. (Dokumentasi Pribadi)
Gunungan. (Dokumentasi Pribadi)

Makna Gunungan dan Filosofi Grebeg

Setelah semua bregada tampil, tibalah saat yang paling ditunggu: keluarnya gunungan. Ada beberapa jenis: Gunungan Kakung, Putri, Gepak, dan lain-lain. Bentuknya seperti gunung kecil dari hasil bumi: sayuran, kacang panjang, cabai, ketupat, jajanan tradisional, hingga telur tersusun rapi. Puncaknya dihiasi kacang dan hasil pertanian lain, melambangkan kemakmuran dan keberkahan.

Gunungan diarak oleh abdi dalem pria dengan baju lurik merah dan celana biru, serta ikat kepala khas keraton. Mereka berjalan mantap, memikul gunungan di atas tandu, seolah mengemban amanah Sultan untuk dibagikan kepada rakyat.

Gunungan bukan sekadar hiasan. Ia simbol kemakmuran, syukur kepada Tuhan, dan harapan agar semua rakyat mendapat berkah. Setelah doa, gunungan dibawa ke Masjid Gedhe Kauman, lalu dibagikan kepada masyarakat. Perebutannya diyakini membawa berkah.

Di masjid Gedhe dan Pura Pakualaman, orang berebut cabai, ketupat, atau daun pisang dari gunungan. Wajah mereka sumringah, tak peduli panas. Ada keyakinan yang tak bisa diukur logika modern: sepotong daun dari gunungan bisa membawa keselamatan.

Gunungan. (Dokumentasi Pribadi)
Gunungan. (Dokumentasi Pribadi)

Refleksi: Tradisi di Tengah Riuh Zaman

Di tengah riuh penonton dan derap kaki prajurit, saya termenung. Tradisi ini sudah ratusan tahun berlangsung. Ia lahir dari nilai spiritual, menyatu dengan budaya, bertahan di tengah gempuran modernitas.

Saya membayangkan, bagaimana jika suatu hari tradisi ini hilang? Apa jadinya Yogyakarta tanpa Grebeg? Apa jadinya kita tanpa akar?

Bregada prajurit bukan sekadar barisan berseragam indah. Mereka simbol keteraturan, keberanian, identitas. Dan ketika saya melihat Langen Kusuma, saya merasa ada pesan kuat: perempuan bukan sekadar pendukung, tetapi juga penjaga peradaban. Mereka berjalan anggun, cantik, tetapi berwibawa---pesan yang relevan di zaman ini.

Dan barisan pelawak? Mereka mengingatkan kita untuk tetap manusia. Untuk tetap tertawa, meski berada di tengah upacara megah. Karena hidup tak harus selalu kaku.

Penutup: Sebuah Denting yang Harus Dijaga

Ketika matahari semakin tinggi dan suara gamelan perlahan mereda, saya melangkah keluar dari keraton. Di luar, kehidupan modern menunggu: kendaraan bermotor, kafe-kafe yang sibuk, dan gawai yang terus berbunyi. Namun di dalam sana, di balik tembok keraton, denting tradisi masih berbunyi.

Grebeg Maulid bukan sekadar tontonan. Ia pengingat bahwa kita punya akar. Bahwa di balik gedung-gedung beton, ada sejarah yang tak boleh putus. Tugas kita menjaganya agar denting itu tak pernah hilang.

Saya menoleh sekali lagi ke arah keraton sambil tersenyum. Sekitar pukul 11.00, saya meninggalkan keraton, kembali menyusuri gang Abdul, sempat mampir sebentar ke Pasar Ngasem, lalu tiba di rumah tepat sebelum salat Jumat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun