Selepas magrib, kami segera bertandang ke Masjid Gedhe Kauman. Tujuan utama adalah melihat Gamelan Sekaten. Malam itu bukan malam biasa. Ini adalah malam terakhir Gamelan Sekaten dimainkan, menandai penutup rangkaian peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang sudah berlangsung sejak sepekan lalu. Malam ini akan ada prosesi Kundur Gongso ketika gamelan akan dibawa kembali ke Keraton.
Langit malam di atas Alun-alun Utara Yogyakarta baru saja menelan cahaya senja. Di kejauhan, siluet pepohonan beringin yang berdiri di tengah alun-alun tampak seperti bayangan raksasa yang menyimpan rahasia masa lampau. Angin malam membawa aroma bercampur: wangi bunga, asap kemenyan samar, dan sedikit bau jajanan gorengan dari para pedagang kaki lima.
"Sedasa (sepuluh) Pak," demikian mas parkir dengan sopan meminta ongkos parkir di muka. Kami beruntung karena begitu tiba di halaman depan masjid, sebuah kendaraan pas keluar sehingga dapat tempat parkir strategis di halaman depan masjid.
Di halaman ini pula sudah berjejer deretan dagangan baik makanan maupun minuman. Ada dawet ireng, ronde, dan juga nasi kuning. Tapi kami lebih suka masuk ke halaman dalam masjid melewati pintu gerbang yang megah dan anggun dengan warna putihnya yang khas.
Kami masuk ke halaman dalam, lampu-lampu berpendar, memantulkan bayangan orang-orang yang hilir-mudik. Di sisi kanan, deretan gerobak makanan berjejer, menjajakan minuman hangat dan kudapan tradisional.
Tenda-tenda kuliner berjajar rapi. Aroma gurih nasi kuning bercampur harum wedang ronde yang mengepul dari panci besar. Orang-orang antre sambil memilih, ada yang membawa anak kecil, ada pula yang duduk lesehan menikmati bajigur hangat.
Kami berjalan belok ke kanan ke arah utara dan sampai di sebuah pagongan yang di dalamnya disimpan sebuah set gamelan. Saya mendekat ke pendopo atau pagongan dan mengamati suasana sekitar. Ternyata tangga menuju pagongan menjadi tempat istirahat favorit. Di sanalah orang-orang duduk sambil mengobrol, anak-anak bermain. Kain kuning keemasan menghias langit-langit, memantulkan cahaya lampu yang temaram. Di balik pintu kayu yang terbuka lebar, tampak barisan gamelan tua, yang sebentar lagi akan ditabuh untuk terakhir kalinya malam itu.
Kebetulan kami sempat berbincang-bincang dengan seorang petugas berseragam cokelat dengan name tag tergantung di sakunya.
"Sekarang sedang istirahat dulu dan akan dimainkan selepas Isya," kata Bapak tadi ramah.
Bapak yang mengaku berusia 65 tahun ini bercerita sekilas mengenai tradisi gamelan sekaten dan juga Grebeg Maulud yang akan diadakan pas Jumat besok. Gamelan yang ada di Pagongan Lor adalah Kyai Nagawilaga, sementara yang di selatan adalah Kyai Guntur Madu.