Jaka Tingkir menghela napas, lalu menjawab pelan:
"Pernah, Guru. Waktu saya berziarah ke Gunung Telamaya, saya bermimpi bulan jatuh menimpa saya. Saat itu saya terbangun, dan mimpi itu selalu saya ingat."
Mendengar itu, Kyai Ageng Sela terperanjat. Bulan adalah lambang kemuliaan, sinar yang menuntun kegelapan, tanda kekuasaan. Dalam pemahaman orang Jawa, mimpi itu bukan sekadar isyarat keberuntungan. Itu adalah wangsit, panggilan takdir yang tak bisa ditolak.
Kyai Ageng Sela menarik napas panjang. Dengan suara berat namun penuh keyakinan, ia berkata:
"Anakku, jangan engkau tanyakan arti mimpimu. Itu mimpi yang sangat baik, bahkan yang terbaik dari semua mimpi. Sebagai gurumu, aku hanya bisa memberi satu nasihat: pergilah ke Demak. Masuklah dalam pengabdian kepada Sultan. Di sana, mungkin takdirmu akan terungkap."
Jaka Tingkir menunduk hormat. Ia tahu, kata-kata itu bukan sekadar petuah, melainkan pintu yang akan membawanya ke perjalanan baru.
Di titik ini, cerita bukan hanya tentang seorang pemuda yang ingin mengabdi. Ini adalah kisah tentang takdir yang memanggil lewat tanda-tanda, sesuatu yang mungkin kita anggap mistis, tetapi dalam tradisi Jawa, ia adalah bagian dari cara semesta berkomunikasi. Refleksi ini menarik: di era modern yang serba rasional, kita kerap melupakan bahwa hidup juga dipenuhi simbol, intuisi, dan bisikan batin.
Mimpi Jaka Tingkir di Telamaya bisa kita baca sebagai metafora. Bulan jatuh ke pangkuannya bukan hanya pertanda ia akan berkuasa, tetapi juga ujian: mampukah ia memikul sinar itu tanpa membiarkan dirinya terbakar oleh ambisi?
Jalan Menuju Takdir
Perintah gurunya membuat langkah Jaka Tingkir mantap. Ia tahu, pengabdian di Demak bukan perkara mudah. Ia bukan siapa-siapa di mata kerajaan itu. Ia hanya seorang anak yatim yang hidup dalam bayang-bayang tragedi. Ayahnya dihukum mati karena dianggap berkhianat, dan kini ia justru akan mengabdi kepada kerajaan yang menjatuhkan hukuman itu.
Tetapi inilah yang menarik: sejarah sering kali bergerak melalui jalur yang penuh ironi. Dalam ironi itu, kita belajar bahwa hidup bukan hitam putih. Dendam tidak selalu dijawab dengan dendam; kadang, ia dijawab dengan pengabdian---dan dari situlah lahir kebesaran.