"Kereta komuter tetap pahlawan kota, walau berdiri, walau sesak, tetap ada jasa.
Malam itu, hujan rintik-rintik baru saja turun ketika saya tiba di Stasiun Sudirman. Lumayan, kaki sudah sedikit berolahraga setelah berjalan kaki dari Grand Indonesia setelah menonton film bersama Komik. Untung hujan turun tepat ketika kaki baru saja melangkah masuk ke stasiun yang masih ramai, meski jam sudah menunjukkan pukul 21.30.
Baru saja saya menempelkan kartu e-money untuk naik ke eskalator, terdengar pengumuman bahwa kereta tujuan Cikarang dengan 12 gerbong akan masuk di peron 2. Namun saya harus ke toilet dulu di pertengahan peron 1.
Selesai dari toilet, kereta dari Stasiun Sudirman Baru masuk ke peron 2. Saya harus menunggu kereta itu berangkat untuk pindah ke peron 2, alias menunggu kereta berikutnya. Petunjuk elektronik menginformasikan bahwa dua kereta berikutnya hanya sampai Manggarai, akan datang 15 dan 25 menit kemudian. Wah, kereta arah Bekasi dan Cikarang masih lama!
Saya menunggu sambil berdiri di tengah lautan manusia. Hujan makin lebat, sebagian penumpang basah kuyup, sebagian membawa payung yang dilipat. Akhirnya terlihat lampu kereta menyala terang---ternyata itu kereta bandara tujuan Manggarai. Lengang, kursinya berlapis empuk, penumpangnya bisa dihitung dengan jari. Dalam hati saya bergumam: ini jalur KRL atau jalur bandara? Ironisnya, jalur ini dulunya milik KRL, tapi kini sebagian waktunya "dipinjam" untuk kereta bandara.
Tak lama kemudian kereta jurusan Manggarai lewat, dan papan informasi memberi tahu bahwa kereta jurusan Cikarang akan tiba sekitar 15 menit lagi. Artinya, penumpang harus menunggu sekitar 30 menit dari kereta sebelumnya. Lautan manusia makin menumpuk, kecuali yang mau ke Manggarai bisa naik kereta berikut. Yang jurusan Bekasi dan Cikarang harus bersabar menanti. Untung hujan mulai reda, dan saya berharap di Bekasi tak hujan.
Kereta komuter, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, hingga kini masih menjadi transportasi massal terbaik di Jabodetabek. Walau sudah ada TransJakarta, MRT Jakarta, LRT Jakarta dan LRT Jabodebek, dua jempol tetap saya sematkan untuk KRL. Pujian ini tentu tak lepas dari sosok visioner dalam sejarah Indonesia, Ignatius Jonan. Sebagian pembaca pasti masih ingat bagaimana ruwetnya kereta api sebelum era Jonan.
Namun, pengalaman di stasiun Sudirman tadi menunjukkan bahwa masih banyak yang bisa diperbaiki, baik jangka pendek maupun panjang. Misalnya, masih ada beberapa stasiun yang tidak dilayani KRL atau dilayani terbatas.
Kalau kita ingin ke Yogyakarta dari Gambir, KRL tidak berhenti di sana. Penumpang turun di Gondangdia, lalu melanjutkan dengan taksi online atau ojol. Mau ke Solo dari Pasar Senen? Dari arah Rajawali atau Kemayoran, KRL tidak berhenti di Senen. Harus bablas ke stasiun lain, baru kembali ke Pasar Senen menunggu kereta. Mengapa stasiun Gambir eksklusif untuk KA jarak jauh? Padahal, dengan jalur tambahan, KRL dan KA jarak jauh bisa berbagi stasiun seperti di banyak kota besar dunia.
Rencana membangun Stasiun Manggarai sebagai stasiun sentral boleh saja, tapi kota sebesar Jakarta seharusnya memiliki beberapa stasiun kereta jarak jauh.
Walau KRL adalah sistem transportasi umum terbaik dibanding MRT dan LRT, masih ada yang bisa ditingkatkan: fasilitas stasiun, frekuensi, jalur yang kadang masih sebidang dengan jalan raya. Kelebihannya adalah jalur lebih banyak dan harga lebih terjangkau karena subsidi. Namun jumlah jalur dan stasiun ini, jika tidak dikembangkan, bisa kalah dengan MRT dan LRT. Fakta menarik: hampir semua jalur KRL, kecuali sedikit, adalah warisan era Hindia Belanda. Jalur Jakarta Kota--Bogor, Kota--Tanjung Priuk, Tangerang--Duri, Tanah Abang--Rangkasbitung, Cikarang--Bekasi--Jatinegara--Kampung Bandan--Angke--Manggarai, semuanya peninggalan Belanda. Jalur baru pasca-republik mungkin hanya Citayam--Nambo dan Batuceper--Soekarno-Hatta.
Kurangnya jumlah jalur dan stasiun bikin kita sering harus memutar. Dari Tangerang ke Cisauk, harus lewat Duri, Tanah Abang, lalu balik ke Tangsel. Dari Cikarang ke Depok, mesti transit ke Jakarta di Manggarai. Jalur lingkar luar? Belum ada. Bahkan setibanya di stasiun tujuan, kita masih harus menempuh 5--6 km dengan ojek online. Jumlah stasiun terlalu sedikit untuk dijangkau berjalan kaki.
Bandingkan dengan Beijing atau Shanghai: metro murah, terintegrasi, stasiun rapat tersebar di seluruh kota. Bandara Pudong dan Hongqiao bisa dicapai dengan metro, sementara jalur cepat tersedia untuk yang mau lebih cepat dan nyaman. Singapura pun awalnya hanya punya bus dari Changi, tapi jalur MRT baru dibangun sehingga penumpang lokal dan turis bisa berbagi tanpa diskriminasi harga. London, meski punya Heathrow Express mahal, tetap menyediakan stasiun Tube di bawah terminal.
Membangun jalur baru tentu sulit dan mahal. Membebaskan tanah di Indonesia kadang lebih sulit daripada mencari kursi kosong di KRL saat jam pulang kerja. Tapi inilah tantangan sesungguhnya: memikirkan kepentingan rakyat, bukan sekadar proyek mercusuar.
Bayangkan jika dana pembangunan Ibu Kota Negara baru dialihkan untuk jalur KRL: mungkin kita sudah punya jaringan setara Shanghai atau Moskwa. Tapi sejarah tidak bisa diubah, kecuali oleh mereka yang sedang berkuasa.
Setelah 80 tahun merdeka, kemerdekaan transportasi masih terasa setengah hati. Masih bergantung pada ojek online untuk menutup jarak terakhir, masih harus memutar karena jalur belum terhubung, masih terjebak proyek yang lebih menonjolkan gengsi daripada kebutuhan rakyat.
Merdeka seharusnya berarti bebas bergerak: bebas dari kemacetan, monopoli jalur, tiket mahal yang tidak masuk akal. Untuk itu, dibutuhkan visi, keberanian, dan kerja nyata---seperti Jonan dulu: membenahi dari dasar, bukan sekadar memoles permukaan.
Sebagai penutup, saya tetap bersyukur KRL adalah angkutan publik terbaik dibanding MRT, LRT, dan TransJakarta. Jangkauannya luas, harga terjangkau, meski stasiun masih terlalu sedikit. Semoga di masa depan, transportasi publik kita jauh lebih baik, tidak hanya di Jabodetabek, tapi juga di kota-kota besar lainnya.
Merdeka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI