Walau KRL adalah sistem transportasi umum terbaik dibanding MRT dan LRT, masih ada yang bisa ditingkatkan: fasilitas stasiun, frekuensi, jalur yang kadang masih sebidang dengan jalan raya. Kelebihannya adalah jalur lebih banyak dan harga lebih terjangkau karena subsidi. Namun jumlah jalur dan stasiun ini, jika tidak dikembangkan, bisa kalah dengan MRT dan LRT. Fakta menarik: hampir semua jalur KRL, kecuali sedikit, adalah warisan era Hindia Belanda. Jalur Jakarta Kota--Bogor, Kota--Tanjung Priuk, Tangerang--Duri, Tanah Abang--Rangkasbitung, Cikarang--Bekasi--Jatinegara--Kampung Bandan--Angke--Manggarai, semuanya peninggalan Belanda. Jalur baru pasca-republik mungkin hanya Citayam--Nambo dan Batuceper--Soekarno-Hatta.
Kurangnya jumlah jalur dan stasiun bikin kita sering harus memutar. Dari Tangerang ke Cisauk, harus lewat Duri, Tanah Abang, lalu balik ke Tangsel. Dari Cikarang ke Depok, mesti transit ke Jakarta di Manggarai. Jalur lingkar luar? Belum ada. Bahkan setibanya di stasiun tujuan, kita masih harus menempuh 5--6 km dengan ojek online. Jumlah stasiun terlalu sedikit untuk dijangkau berjalan kaki.
Bandingkan dengan Beijing atau Shanghai: metro murah, terintegrasi, stasiun rapat tersebar di seluruh kota. Bandara Pudong dan Hongqiao bisa dicapai dengan metro, sementara jalur cepat tersedia untuk yang mau lebih cepat dan nyaman. Singapura pun awalnya hanya punya bus dari Changi, tapi jalur MRT baru dibangun sehingga penumpang lokal dan turis bisa berbagi tanpa diskriminasi harga. London, meski punya Heathrow Express mahal, tetap menyediakan stasiun Tube di bawah terminal.
Membangun jalur baru tentu sulit dan mahal. Membebaskan tanah di Indonesia kadang lebih sulit daripada mencari kursi kosong di KRL saat jam pulang kerja. Tapi inilah tantangan sesungguhnya: memikirkan kepentingan rakyat, bukan sekadar proyek mercusuar.
Bayangkan jika dana pembangunan Ibu Kota Negara baru dialihkan untuk jalur KRL: mungkin kita sudah punya jaringan setara Shanghai atau Moskwa. Tapi sejarah tidak bisa diubah, kecuali oleh mereka yang sedang berkuasa.
Setelah 80 tahun merdeka, kemerdekaan transportasi masih terasa setengah hati. Masih bergantung pada ojek online untuk menutup jarak terakhir, masih harus memutar karena jalur belum terhubung, masih terjebak proyek yang lebih menonjolkan gengsi daripada kebutuhan rakyat.
Merdeka seharusnya berarti bebas bergerak: bebas dari kemacetan, monopoli jalur, tiket mahal yang tidak masuk akal. Untuk itu, dibutuhkan visi, keberanian, dan kerja nyata---seperti Jonan dulu: membenahi dari dasar, bukan sekadar memoles permukaan.
Sebagai penutup, saya tetap bersyukur KRL adalah angkutan publik terbaik dibanding MRT, LRT, dan TransJakarta. Jangkauannya luas, harga terjangkau, meski stasiun masih terlalu sedikit. Semoga di masa depan, transportasi publik kita jauh lebih baik, tidak hanya di Jabodetabek, tapi juga di kota-kota besar lainnya.
Merdeka.