Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Ketika Koteka Tersesat di Kelenteng Petak Sembilan

9 Agustus 2025   15:23 Diperbarui: 13 Agustus 2025   14:10 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kelenteng di Petak Sembilan (Dokumentasi Pribadi)

Di balik hiruk-pikuk modern Jakarta, Petak Sembilan tetap memancarkan aura sejarah yang kaya dan kental dengan budaya Tionghoa. Kawasan ini bukan sekadar permukiman, melainkan juga saksi bisu perjuangan dan keberlangsungan komunitas Tionghoa yang telah bertahan selama berabad-abad. 

Dari kelenteng-kelenteng kuno hingga gang-gang kecil yang penuh cerita, Petak Sembilan adalah jantung hidup yang merefleksikan harmoni dan kekuatan tradisi di tengah perkembangan kota metropolitan.

Gapuran China Town Jakarta (Dokumentasi Pribadi)
Gapuran China Town Jakarta (Dokumentasi Pribadi)

"Selamat Datang, Kawasan Glodok Pancoran, China Town Jakarta,"

Kata-kata dengan tulisan warna kuning dan latar belakang coklat muda ini terpampang gagah di gapura alias pintu gerbang Glodok. Ah saya ingat pernah berkunjung ke sini tahun lalu dan pernah membaca prasasti yang ditandatangani gubernur Anies Baswedan ketika meresmikannya pada Juni 2022.

Anies mungkin merupakan salah satu gubernur DKI Jakarta yang paling banyak meresmikan prasasti di seantero kota. Dari taman literasi Marta Tiahahu di kawasan blok M hingga makam di Karet Bivak dan tentunya tempat-tempat menarik lain saya pernah kunjungi dan membaca dan melihat tanda tangannya.

Menurut berita ketika meresmikan gapura ini, Anies mengatakan bahwa gerbang ini dibuat persis aslinya yang pernah dihancurkan penjajahan Belanda dulu. Ya gerbang ini tampak megah walau situasi sekitarnya memang sedikit semrawut. 

Waktu menunjukan belum pukul 4 sore. Udara masih hangat, lalu lintas cukup padat, tapi trotoar mulai lebih lengang. Ada abang ojek online berseragam hijau, tukang es, dan deretan kendaraan yang terjebak macet. 

Terlihat pula bendera Merah Putih berkibar di sisi kiri gerbang, maklum tidak lama lagi peringatan hari kemerdekaan. Seorang abang penjual es herbal atau minuman tradisional Cina sedang mendorong gerobak dengan botol-botol kaca --- kemungkinan berisi liang teh, kembang krisan, atau air serbat.

Di tepi jalan ada juga bajaj biru yang sedang parkir dan di seberang jalan ada deretan toko obat tradisional Cina yang masih bertahan di telan masa, sebagian masih mempertahankan model etalase tempo dulu. Bangunan paling ikonik di sini salah Pantjoran Tea House yang konon dulu adalah Apotik Tjung Hwa yang turut melestarikan tradisi patekoan.

Selfie koteka: Mbak Gana
Selfie koteka: Mbak Gana

Di depan gerbang itu, kami berdiri seperti turis yang tidak terburu-buru. Mbak Gana dengan kamera di tangannya, Mbak Mutiah menatap detail ukiran liong di gapura, sementara Pak Sutiono---paling senior di rombongan---mencoba mengingat-ingat apakah dulu ia pernah melihat bentuk aslinya.

Astro yang paling muda dalam rombongan, sibuk memotret dari sudut rendah, membuat gerbang itu tampak megah seolah-olah akan membuka jalan menuju abad lampau.

Kami berjalan melewati gerbang ini, gerbang menuju Jakarta masa lampau ketika masih atau bahkan sebelum bernama Batavia. Melewati gerbang ini bukan sekadar melintasi jalan, tapi seperti melangkah ke masa lalu. 

Suara deru kendaraan tetap terdengar, tapi aroma rempah, dupa, dan minyak gosok dari toko-toko tua membuat suasana berubah. Setiap sisi jalan punya kisah --- tentang leluhur Tionghoa yang datang sebagai pedagang, tentang tragedi, dan juga tentang daya tahan hidup komunitas yang terus eksis.

Gang Kenenangan Raya: Mbak Gana
Gang Kenenangan Raya: Mbak Gana

Setelah berjalan sekitar lima puluh meter, di antara pedagang buah di kaki lima, kami berbelok ke kiri melewati gang dengan suasana pasar tradisional. Nama gang ini resminya adalah Jalan Kemenangan Raya, namun tertutup untuk kendaraan karena di kiri kanannya berderet pedagang, lebih tepatnya ini adalah pasar tradisional yang bernama Pasar Petak Sembilan. Tujuan kami adalah kelenteng tertua di Jakarta yang memang terletak di kawasan Petak Sembilan.

Beberapa langkah masuk ke Jalan Kemenangan Raya ini, riuh kendaraan mulai mereda, berganti denting sendok memukul piring, banyak pedagang makanan khas Tionghoa yang mungkin "haram" di tempat lain. Salah satunya yang sempat saya lihat adalah Sekbak.

Wah penasaran juga nih. Ternyata Sekbak adalah masakan berkuah cokelat pekat khas peranakan Tionghoa, direbus lama dengan rempah seperti bawang putih, kayu manis, cengkih, dan pekak (anis). Melihat namanya, kuliner ini pasti non halal. Aromanya kuat, dan menjadi salah satu kuliner jalanan yang mewarnai suasana khas Petak Sembilan.

Suasana di sini cukup santai, Di antara kios buah naga, jeruk mandarin, dan plastik merah berisi bungkusan persembahan, terlihat lorong-lorong sempit yang menjadi pembuluh darah kawasan ini.

Di beberapa sudut, tampak penjual kue tong ciu pia --- kue bulat berisi kacang hijau, duren, cokelat, atau cempedak. Kueh ini kadang disebut juga kueh bulan, Menjelang Festival Kue Bulan yang jatuh di pertengahan bulan kedelapan penanggalan Imlek, tong ciu pia mulai membanjiri kios-kios. Kotaknya berwarna merah atau emas, dihias motif bulan purnama, kelinci giok, atau bunga krisan. Ada yang dijual eceran di meja kayu sederhana, ada pula yang rapi terbungkus untuk hantaran.

Nama Petak Sembilan bukan sekadar label pasar; ia lahir dari masa ketika kawasan ini dipetakan seperti papan catur oleh VOC, setelah orang Tionghoa dipindahkan dari pusat kota lama Batavia pasca tragedi 1740. Sembilan blok---petak-petak persegi panjang yang rapi---dibentuk sebagai permukiman, lengkap dengan pembagian fungsi: tempat tinggal, pasar, rumah ibadah, dan rumah pejabat komunitas. 

Di salah satu titik pusatnya berdiri Kelenteng Kim Tek Ie, yang kini dikenal sebagai Vihara Dharma Bhakti. Kian mendekati kelenteng , jalan makin ramai oleh pedagang yang menjual segala yang dibutuhkan untuk sembahyang: dupa, lilin mera, hingga kertas uang emas-perak. 

Bau dupa semakin pekat, bercampur manisnya aroma bunga sedap malam. Warna merah, emas, dan kuning mendominasi pandangan, seolah semua yang lewat sedang berjalan di dalam lukisan berlapis warna keberuntungan.

Gerbang kelenteng: mbak Palupi 
Gerbang kelenteng: mbak Palupi 

Dan tiba-tiba pintu gerbang kelenteng muncul di sudut persimpangan jalan kemenangan III. Di depannya ada penjual burung merpati dengan puluhan sangkar yang bertumpuk. Di dalamnya tampak burung -burung kecil yang berterbangan seakan mencari kebebasan.

Burung merpati d Mbak Palupi 
Burung merpati d Mbak Palupi 

Ketika saya tanya kepada abang penjual burung itu, dia menjawab bahwa banyak penziarah yang menjalankan ritual tradisi melepas hewan ke alam bebas sebagai wujud belas kasih. 

Ritual ini disebut fang sheng. Burung sering dipilih karena mudah didapat dan bisa langsung terbang. Di depan kelenteng, pedagang kadang menjual burung kecil untuk dilepas sebagai bagian dari doa. 

Bahkan ada yang percaya untuk membuang sial. Tradisi seperti ini pernah saya lihat di Tepekong Air di Tangerang, cuma hewan yang dilepas adalah kura-kura yang langsung berenang di sungai Cisadane. Uniknya penjual tidak lama kemudian mencari dan menangkap kembali kura-kura tersebut untuk dijual kembali.

Kebetulan sore itu kelenteng agak sepi. Saya sempat bertanya ke abang penjual burung mengapa? 

Kelenteng biasanya ramai pada saat perayaan tertentu. Misalnya saat Imlek, capgome, Waisak dan juga Ramadhan. Saya sempat kaget ketika Ramadhan disebutkan, rupanya kelenteng ini mempunyai tradisi membagikan makanan takjil dan berbuka kepada warga sekitar setiap Ramadhan.

Begitu melangkah masuk dari gang kecil Petak Sembilan menuju pelataran kelenteng ini, dunia seakan berubah.

Halaman kelenteng: dokpri 
Halaman kelenteng: dokpri 

Di sebelah kiri, seorang ibu berjilbab hijau duduk tenang di bawah pilar, sibuk dengan gawainya. Tidak terganggu, tidak mengganggu. Di sebelah kanan, tampak mbak Ervita sedang mengangkat ponsel untuk mengambil gambar altar dari kejauhan.

Di tengah, berdiri hiolo besar tempat membakar dupa. Di belakangnya, altar utama memancarkan cahaya keemasan dari dalam --- samar namun tegas. Ada aura yang tidak bisa ditangkap kamera, tapi terasa ketika kita berdiri langsung di situ: aura waktu. Seolah ratusan tahun doa dan harapan masih tinggal di udara.

Dinding merah mencolok itu bukan sekadar cat --- ia adalah simbol perlindungan, keberuntungan, dan kekuatan spiritual dalam budaya Tionghoa. Lubang-lubang ventilasi dengan bentuk segi delapan (patkua) melambangkan harmoni antara yin dan yang, serta arah mata angin --- kunci dalam prinsip feng shui.

Di sisi kiri terlihat menara pembakaran uang kertas kecil --- tempat umat membakar persembahan kepada leluhur atau roh pelindung. Meski mungil, bentuknya mengikuti model pagoda mini.

Langit-langit dinaungi atap seng berwarna gelap --- ini tambahan pasca-kebakaran, sebagai upaya perlindungan dari cuaca. Namun ketika saya melihat balik ke pintu gerbang saya menemukan nama yang asing yaitu Hian Tan Keng lengkap dengan tiga huruf Hanzi. Ternyata kita baru sampai di kelenteng yang juga bernama Vihara Dharma Sakti.

Hian Tan Keng (Dokumentasi Pribadi)
Hian Tan Keng (Dokumentasi Pribadi)

Jadi bikin bingung karena di kira yang ada satu kelenteng ternyata ada beberapa di kompleks ini.

Hui tek bio (Dokumentasi Pribadi)
Hui tek bio (Dokumentasi Pribadi)

Kami terus berjalan belok ke kiri dan melihat lagi bangunan kelenteng di sebelah kanan. Warnanya tidak terlalu merah dan di atas pintu ada tiga aksara Hanzi yang dibaca dalam dialek hokian Hui Tek Bio atai Hui ze Miao.

Konon, Dewa utama kelenteng ini adalah Cai Shen Ye (Dewa Rejeki), sehingga banyak pedagang yang datang berdoa di sini untuk kelancaran usaha

Ada sepasang Tulisan di sisi kanan dan kiri pintu, pada sisi kanan ada deretan aksara Hanzi yang artinya kira-kira "Gunung menjulang menembus awan, lima li (satuan jarak) penuh semangat ilahi, mendukung Dinasti Song.

Sementara pada sisi kiri, Tulisan di sisi kiri pintu ini deretan aksar yang sama yang kalau diterjemahkan menjadi "Perlindungan dan kebajikan emas yang tak terbatas, dharma Buddha menyelamatkan semua makhluk."

Kalau digabung, dua sisi pintu Hui Tek Bio ini menceritakan bahwa dewa utama memiliki asal-usul agung (berkaitan dengan gunung suci dan Dinasti Song) sekaligus kebajikan yang melindungi dan menolong umat.

Wah asyik betul ceritanya walau hanya dengan membaca tulisan di pintu.

Menurut sejarahnya kelenteng Kim Tek Ie ini berdiri sejak tahun 1650, nama aslinya adalah Kwan Im Teng. Pada saat pembantaian orang Tionghoa tahun 1740. Kelenteng ini ikut terbakar habis namun dibangun kembali sekitar tahun 1755 dan memiliki nama baru yaitu Kim Tek Ie (), dan dalam memori lisan para tetua Glodok, ia disebut juga Yin De Yuan () --- tempat untuk kebajikan tersembunyi.

Kebakaran besar yang terjadi pada 2 Maret 2015 melahap sebagian besar bangunan, termasuk altar utama dan patung-patung tua. Namun dalam waktu relatif cepat, komunitas bahu-membahu membangun kembali. Tidak semua arca bisa diselamatkan, tapi roh dari tempat ini tetap bertahan. Kami terus berjalan dan sampai di dekat pintu keluar atau juga pintu masuk utama di jalan Kemenangan III.

Altar terbuka (Dokumentasi Pribadi)
Altar terbuka (Dokumentasi Pribadi)

Di sebelah kiri ada halaman yang merupakan altar terbuka untuk bersembahyang dan membakar dupa --- biasa disebut altar Thian, atau altar langit, yang terbuka ke atas meskipun terlindung atap logam.

Di sebelah kanan terdapat Tungku besar berbentuk silinder dan didekatnya ada bejana persegi berkaki empat yang merupakan tempat pembakaran hio dan kertas sembahyang.

Sementara itu ada lampion merah berderet di langit-langit, memperkuat nuansa ritual khas klenteng.

Kebetulan ada seorang jemaah berkaos kuning yang tengah bersembahyang ke arah altar. Kami kemudian keluar dari pintu menuju jalan kemenangan III dan belok kanan untuk melanjutkan melihat lihat kelenteng atau bangunan tua lain di kawasan Petak Sembilan.

Karena kami tidak masuk ke dalam satu pun bangunan dan hanya melewati jalan lorong dna halaman, saya sendiri sekarang tidak tahu bangunan atau bagian mana yang disebut kelenteng atau vihara Dharma Bakti.

Bahkan nama vihara Dharma Bhakti sendiri konon baru diberikan pada masa orde baru ketika nama -nama berbau Cina dilarang dan bahkan aksara Tionghoa pun dilarang di negeri ini.

Akibatnya kita jadi bingung, ingin menuju ke vihara Dharma Bhakti malah ketemu kelenteng Hian Tan Keng dan juga Hui Tek Bio.

Rasanya harus kembali lagi ke sini di waktu ramai agar bisa bertanya ke jemaah atau pengurus kelenteng. walau saya merasa tersesat di Petak Sembilan, tetapi akan selalu tetap semangat jalan-jalan bersama Koteka.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun