Begitu melangkah masuk dari gang kecil Petak Sembilan menuju pelataran kelenteng ini, dunia seakan berubah.
Di sebelah kiri, seorang ibu berjilbab hijau duduk tenang di bawah pilar, sibuk dengan gawainya. Tidak terganggu, tidak mengganggu. Di sebelah kanan, tampak mbak Ervita sedang mengangkat ponsel untuk mengambil gambar altar dari kejauhan.
Di tengah, berdiri hiolo besar tempat membakar dupa. Di belakangnya, altar utama memancarkan cahaya keemasan dari dalam --- samar namun tegas. Ada aura yang tidak bisa ditangkap kamera, tapi terasa ketika kita berdiri langsung di situ: aura waktu. Seolah ratusan tahun doa dan harapan masih tinggal di udara.
Dinding merah mencolok itu bukan sekadar cat --- ia adalah simbol perlindungan, keberuntungan, dan kekuatan spiritual dalam budaya Tionghoa. Lubang-lubang ventilasi dengan bentuk segi delapan (patkua) melambangkan harmoni antara yin dan yang, serta arah mata angin --- kunci dalam prinsip feng shui.
Di sisi kiri terlihat menara pembakaran uang kertas kecil --- tempat umat membakar persembahan kepada leluhur atau roh pelindung. Meski mungil, bentuknya mengikuti model pagoda mini.
Langit-langit dinaungi atap seng berwarna gelap --- ini tambahan pasca-kebakaran, sebagai upaya perlindungan dari cuaca. Namun ketika saya melihat balik ke pintu gerbang saya menemukan nama yang asing yaitu Hian Tan Keng lengkap dengan tiga huruf Hanzi. Ternyata kita baru sampai di kelenteng yang juga bernama Vihara Dharma Sakti.
Jadi bikin bingung karena di kira yang ada satu kelenteng ternyata ada beberapa di kompleks ini.
Kami terus berjalan belok ke kiri dan melihat lagi bangunan kelenteng di sebelah kanan. Warnanya tidak terlalu merah dan di atas pintu ada tiga aksara Hanzi yang dibaca dalam dialek hokian Hui Tek Bio atai Hui ze Miao.