Di sinilah angin semilir mengantarkan cerita dari danau, dari masa lalu, dan dari lidah yang tak hanya kenyang tapi juga paham.
Setelah berjalan kaki menyusuri ruang-ruang tua di Rumah Tegel Lasem, menyentuh papan absen dari tahun 1970-an dan melihat jejak mesin cetak tegel yang kini tak lagi berdenyut, perut kami mulai memberi isyarat yang lebih jelas ketimbang nostalgia: lapar.
Mobil elf pun meluncur ke arah pantai, menuju tempat makan yang disebut-sebut enak dan nyaman: Warung Apung Dusun Dasun.
Terletak persis di sebelah Kantor Kepala Desa Dasun, warung ini hanya berjarak beberapa menit dari jalan utama Lasem. Namun yang membuatnya istimewa bukanlah lokasinya, melainkan suasananya.
Begitu memasuki kawasan warung, jembatan kayu kecil menyambut kami. Di bawahnya, hamparan danau tenang memantulkan cahaya siang. Lorong ini mengantar kami menuju saung-saung lesehan yang berdiri di atas air.
Saung-saung itu mengapung ringan, ditopang pancang dan papan kayu. Tidak luas, tapi cukup nyaman untuk menampung satu keluarga atau rombongan kecil.
Kami duduk lesehan, punggung bersandar ke bilah bambu, kaki diluruskan, mata dimanjakan lanskap air yang tenang. Di kejauhan, seekor bangau berdiri diam seperti patung, seolah tahu ia adalah bagian dari lukisan alam siang itu.
Angin semilir menyusup di sela-sela panas matahari. Di tengah Lasem yang dikenal terik, di sinilah air dan angin bersatu membentuk peneduh alami. Seakan berkata: tenanglah, makan siang ini akan lama, dan tak ada yang tergesa-gesa.