Siang itu di perjalanan di kota lama Kudus berlanjut setelah sempat mampir ke masjid langgar dalam. Kami melewati lorong dan jalan yang sempit di antara rumah-rumah tua yang anggun. Walaupun begitu ada momen momen yang cukup mengasyikkan di sana antara lain ketika kami melihat dua ekor kambing warna hitam putih.
Keduanya, seakan- akan sedang digantung dengan seutas tali di leher.
Seorang pemuda bercelana pendek hitam dan memakai sandal jepit tampak sedang mengangkat tangan kanannya yang memegang tali warna biru yang tersambung ke leher kambing. Saya sempat mengira kambing ini akan dipotong atau dieksekusi.
Namun ketika kami tanyakan, pemuda yang lain menjawab bahwa kambing itu hanya akan dimandikan. "Wah baru tau deh begitu cara memandikan kambing."
Kami kembali menyusuri jalan dan lorong sempit kota tua Kudus --- daerah yang setiap sudutnya seolah menyimpan lapisan masa lalu.
Kami melewati rumah rumah tua yang cantik. Salah satunya terlihat tertutup rapat dengan dinding dan pintu dari kayu warna coklat tua.
Terlihat juga beberapa sangkar burung tergantung di depan rumah serta lantai beranda yang terbuat dari ubin warna merah bata dan putih.
Kami terus berjalan sampai akhirnya sampai ke jalan yang tidak terlalu besar namun suasana nya cukup ramai. Rupanya di sini sedang diselenggarakan festival Kali Gelis.
Festival Kali Gelis adalah acara tahunan yang diadakan di Desa Langgardalem, Kota Kudus, sebagai upaya menghidupkan kembali dan mengembangkan wisata sejarah kretek---yang dimulai dari kampung ini, tempat industri kretek lahir dari tangan Nitisemito, sang "Raja Kretek"
Nah dalam festival ini diselenggarakan walking tur seperti yang sedang kami lakukan ini. Salah satunya adalah mampir ke rumah Nitisemito. Sang raja kretek.
Tak lama kemudian, kami tiba di rumah peninggalan Nitisemito --- sang Raja Kretek legendaris dari Kudus. Sebuah spanduk bertuliskan
"Selamat Datang di Rumah Nitisemito " terpampang di atas pintu gerbang. Sementara itu di sebelah kanan berderet gadis -gadis yang duduk sambil menjajakan minuman tradisional khas Kudus.
Di depan rumah tua ini kami disambut oleh seorang perempuan berusia sekitar enam puluh tahun lebih yang masih merupakan cucu atau buyut Nitisemito. Kami dipersilahkan masuk dan melihat suasana rumah. Bangunannya kokoh, bergaya kolonial Jawa dengan sentuhan art deco. Tegel-tegel lantainya masih asli, tampak sangat klasik dan sangat khas rumah tua peninggalan zaman Belanda. Corak flora dengan warna yang kalem mendominasi lantai ini.
Di ruang tamu, kursi mebel tua masih tertata. Dinding tinggi, lampu gantung antik, jendela lebar, dan perabotan kayu jati serta cermin besar antik membuat kita merasa seperti tersedot ke masa lalu.
Kami sempat berbincang dengan nyonya rumah yang menyambut dengan ramah. Tak banyak yang dijelaskan, tapi cukup untuk menambah rasa penasaran.
Ornamen yang paling menarik di rumah ini adalah relief pesawat terbang yang ada di dinding. Mungkin untuk mengingat bahwa sang raja kretek pernah menggunakan pesawat untuk melakukan promosi.
Kami melanjutkan bincang-bincang sambil menunggu sebagian anggota rombongan yang tidak ikut walking tur dan dijemput dari dekat masjid menara.
Acara terakhir siang itu di kota lama Kudus adalah mampir ke peninggalan Nitisemito yang paling legendaris sekaligus misterius yaitu Omah Kembar.
Letaknya tidak jauh dari rumah Nitisemito, di jalan Sunan Kudus dan dua rumah ini bagaikan sepasang monumen yang menghiasi Kali Gelis.
Rumah Kembar yang Simetris dan Misterius
Tak jauh dari rumah Nitisemito, kami tiba di sebuah kompleks yang cukup tersembunyi. Dua rumah berdiri berdampingan, simetris, identik dari luar: pintu, jendela, ventilasi, bahkan warna catnya sama persis. Kami langsung menyebutnya "Rumah Kembar" --- dan memang begitulah sebutan masyarakat sekitar.
Menurut cerita, dua rumah ini dulunya juga milik Nitisemito. Dirancang oleh arsitek Belanda, bergaya Eropa klasik dengan balkon di depan, hanya dua kamar tidur, satu kamar mandi, dapur panjang dan paviliun belakang. Luas total sekitar 6.000m .
Omah kembar dibangun tahun 1926 sebagai rumah hadiah untuk dua putrinya (Nahari di sisi timur, Nafiah di barat) yang setia mendampingi di masa perjuangan usahanya
Tapi yang membuat bulu kuduk merinding adalah bisik-bisik warga bahwa rumah ini dulu "bernyawa". Konon, jika satu rumah direnovasi, rumah yang satunya akan ikut "merajuk": pintu berderit sendiri, atap bocor padahal baru diganti, atau lampu yang tiba-tiba padam saat malam Jumat.
Bahkan ada juga cerita seorang YouTuber yang sempat minta izin masuk ke rumah ini tapi tidak jadi karena ada mitos Babon Spranak. Apa itu?
Kami tidak masuk ke dalam, tapi cukup berdiri di luar untuk merasakan auranya. Ada semacam energi yang tak bisa dijelaskan. Bukan menyeramkan, tapi seperti tempat yang punya ingatan sendiri.
Perjalanan di kota tua Kudus hari itu seperti melompat dari ziarah ke legenda, dari spiritual ke sejarah, dari yang kasat mata ke yang bisik-bisik. Kami tak hanya berjalan, tapi juga membaca --- membaca bangunan, suasana, dan cerita yang hidup di sela-sela tembok tua dan lantai tegel. Kudus memang kota kecil, tapi penuh bab yang tak habis dibuka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI