Hari itu saya ikut menemani seorang kerabat lansia ke PRJ. Sebelumnya saya cukup terkesan: katanya tiket masuk untuk lansia gratis, sebagai bentuk penghargaan untuk warga senior. Tapi kenyataan di lapangan membuat saya bertanya-tanya: apakah ini benar-benar bentuk penghormatan, atau sekadar formalitas yang menyulitkan?
Di pintu masuk, antrean untuk tiket gratis lansia mengular panjang di bawah terik matahari. Usia mereka mungkin 65 ke atas, tapi banyak yang berdiri sendiri, berkeringat, dan tampak lelah. Petugas di loket memberi formulir, mengecek KTP, lalu mencetak tiket---semuanya manual dan memakan waktu.
Sementara itu, loket berbayar di sebelahnya justru sepi. Tiket langsung dicetak, pembeli langsung masuk. Praktis. Tidak panas-panasan.
Ironisnya, lansia yang katanya "diistimewakan", justru harus melewati pengalaman yang paling melelahkan. Bahkan beberapa pengunjung senior akhirnya menyerah dan... membeli tiket saja, demi bisa masuk lebih cepat.
Jadi saya pikir, benarkah PRJ menghormati lansia? Atau ini hanya sekadar gimik gratisan yang tidak benar-benar berpihak? Jika tujuannya adalah penghormatan, kenapa tidak disiapkan jalur cepat khusus untuk lansia? Atau diberi counter khusus ber-AC, atau bahkan layanan digital untuk pendaftaran sebelumnya?
Kalau mau cepat, terpaksa bayar. Kalau mau gratis, siap-siap diuji kesabaran dan daya tahan tubuh. Mirip ujian masuk PRJ versi orang tua.
Lansia memang gratis, tapi dengan harga: berdiri lama, kepanasan, dan diperlakukan seadanya.
Sayang sekali, niat baik tidak didukung oleh desain sistem yang ramah.