Setelah selesai menikmati keindahan Masjid Menara Kudus, Kami menyusuri gang-gang kecil di kota tua Kudus, hanya sekitar dua ratus meter dari Menara Kudus yang megah dan ramai. Siang itu, angin berembus lembut membawa aroma masa lalu yang samar-samar menyeruak dari tembok bata dan pintu kayu jati. Dari jalan utama, kami masuk ke arah barat laut, melewati deretan kios, rumah-rumah tua, dan dinding berpagar rendah. Di ujung gang kecil itu, berdiri sebuah bangunan yang tampak bersahaja. Atap genteng merah bata, dinding putih sederhana, tanpa kubah, tanpa menara. Sekilas bagaikan rumah bisa.
Inilah Masjid Langgar Dalem. Tak banyak yang mengenalnya di luar Kudus. Namun bagi warga lokal dan peziarah yang peka pada jejak sejarah, Langgar Dalem bukan sekadar masjid tua. Ia adalah salah satu bangunan tertua di Kudus, bahkan diduga dibangun sebelum Masjid Menara Kudus didirikan oleh Sunan Kudus. Di sinilah, di halaman yang tenang ini, kami memulai ziarah kecil yang perlahan mengungkap sejarah Islam awal di tanah Jawa.
Ketika kami tiba, masjid tampak sepi. Tidak ada aktivitas di halaman. Hanya pintu kayu utama yang tertutup rapat. Kami sempat berpikir masjid tidak bisa dikunjungi dari dalam. Tapi Mas Pur, seperti biasa, tahu caranya.
Dengan langkah tenang, ia kemudian menghubungi penjaga masjid, yang telah bertahun-tahun merawat tempat ini. Kami duduk menunggu di bangku semen. Sekitar lima menit kemudian, sang penjaga datang membawa kunci. Ia mengangguk sopan, lalu membuka pintu.
Kami pun melangkah masuk ke dalam. Dan di sanalah waktu seolah berhenti.
Memasuki Ruang Tua yang Masih Bernapas
Interior masjid menyambut kami dengan kesederhanaan yang teduh. Empat tiang utama dari kayu jati berdiri kokoh menopang atap limasan bersusun. Langit-langitnya dari anyaman bambu yang masih asli. Lampu gantung besar bergaya kolonial menggantung di tengah ruangan, memberikan cahaya hangat ke seluruh penjuru.
Masjid ini tidak luas, tapi lapang. Tidak ada kubah. Tidak ada pengeras suara. Tapi justru dalam keheningan itulah terasa getaran yang sulit dijelaskan. Seolah setiap kayu, setiap bata, menyimpan doa-doa yang telah terucap selama ratusan tahun.
Mihrab masjid kecil, sederhana, tapi di atasnya terukir kaligrafi dengan huruf Arab yang klasik. Di sisi kiri dan kanan, ada jendela kayu tua dengan kisi-kisi yang masih berfungsi. Dindingnya dicat putih bersih. Di beberapa sudut, tampak ubin tua yang telah diganti sebagian, namun tetap menjaga nuansa lamanya.
Mas Pur berdiri di tengah ruangan dan mulai bercerita. Ia menjelaskan bahwa masjid ini kemungkinan besar telah berdiri sejak pertengahan abad ke-15, pada masa dakwah awal para wali. Bahkan, bisa jadi dibangun oleh murid Sunan Ampel atau pengikut awal jaringan Walisongo sebelum Kudus menjadi pusat dakwah besar.
"Bangunan ini bukan hanya tempat salat," kata Mas Pur pelan, "tapi juga tempat bertemunya dua dunia: Islam dan budaya Jawa yang halus, penuh simbol dan makna."