Saya tiba di Stasiun Pondok Rajeg saat langit masih menyimpan hangat mentari. Cahayanya menggantung di sela-sela awan, seperti enggan pergi. Keluar gerbong kereta, dari ujung peron, mata saya sudah langsung menangkapnya---sebuah petak tanah luas yang menampakkan dirinya diam-diam di antara pepohonan: Teras Rajeg.
Sebenarnya, saya bisa saja berjalan kaki, jaraknya tak jauh. Tapi teman saya Dendi sudah menunggu di bawah pohon dengan motornya. Kami melaju perlahan melalui jalan kecil yang hanya bisa dilalui satu mobil, diapit warung kopi dan tempat pangkas rambut.
Lalu, sebuah lorong hijau terbuka. Saya kira itu hanya lahan biasa---sampai kami benar-benar masuk dan segalanya berubah.
Teras Rajeg membuka dirinya dengan tenang, seperti taman rahasia yang sabar menunggu ditemukan. Di balik pintu sempit itu, dunia membentang. Luasnya lebih dari 5000 meter persegi, tapi bukan luas yang membuat saya terdiam. Ini tentang suasana yang perlahan memeluk dan menaungi dengan ramah.
Tempat parkirnya tak main-main, bisa menampung puluhan mobil. Bang Tino, si pemilik, bilang jika sedang ramai, lahan di sebelah dekat stasiun bisa dipinjam, dan parkiran pun bisa menampung lebih dari 150 kendaraan.
"Tapi tetap rapi," katanya. "Biar banyak, yang penting tertib."
Saya tertawa kecil. Dendi mengangguk.
Kami menyusuri jalur setapak menuju tengah taman. Pohon-pohon tinggi berdiri seperti penjaga tua, memisahkan Teras Rajeg dari lahan sebelah, menciptakan dinding hijau yang teduh dan alami. Dari sela dedaunan itu, saya bisa melihat peron Stasiun Pondok Rajeg---menjulang kecil tapi gagah, dengan atap bergelombang yang mencuri cahaya sore.
Kami menyusuri jalur yang mengarah ke taman utama. Di sisi kanan, tampak sebuah kolam besar tanpa air. Di sekitar nya banyak pepohonan tropis---kelapa, mangga, rambutan, dan beberapa yang tak saya kenali. .
Tepat di depan, ada pelaminan yang sederhana namun cantik bila berhias. Di sekitarnya bangku-bangku beton tersusun rapi, dikelilingi rumput yang dipangkas rata. Tapi yang paling menarik perhatian saya adalah sebuah pola di lantai depan pelaminan. Motif itu familiar---mozaik hitam putih bergaya Calsada Portuguesa, persis seperti yang saya lihat di Lisboa dan Sintra. Saya berhenti sejenak, menatapnya dalam diam. Entah sengaja atau tidak, motif ini seperti jembatan kenangan saya dari Portugal ke Pondok Rajeg.
Di ujung lahan, Ada beberapa ruang yang disediakan untuk kamar rias pengantin. Jendelanya lebar, menghadap ke Timur membiarkan cahaya alami masuk di pagi hari. Meja rias berdiri menghadap kaca besar, dan dindingnya bersih dengan gantungan kain putih. Tak jauh dari situ, sebuah ruang pantri berdiri bersih dan terang---tempat kru katering bisa menata makanan, membuat teh panas, atau sekadar menarik napas di sela hiruk persiapan pesta.
Tak lama, kami menuju sebuah gazebo di samping rumah utama. Di sanalah kami duduk santai, memecah sore yang kian redup. Saya mengeluarkan beberapa makanan kecil yang tadi saya beli di Stasiun Bogor: kue bolu talas ungu yang harum, stik kentang goreng renyah, lemper isi ayam yang pulen.
Untuk minum, tuan rumah menyediakan beberapa butir kelapa muda---dipetik langsung dari pohon yang tumbuh di Teras Rajeg itu sendiri. Air kelapa itu dingin, segar, dan terasa seperti hadiah dari tanah yang bersyukur.
"Sederhana tapi bikin bahagia," gumam saya. Dendi hanya tersenyum, sibuk mengunyah stik kentang.
Tak ada musik, tak ada gaduh. Hanya suara angin, serangga, dan sesekali tawa kecil kami.
"Saya nggak bikin yang mewah, tapi cukup nyaman," kata Bang Tino, yang kemudian duduk di sisi kami. Bang Tino juga menambahkan bahwa tempat ini sangat cocok untuk pesta taman baik pernikahan, ulang tahun, reuni dan lainnya. Harga sewa juga relatif terjangkau.
Kami sempat mengobrol ringan. Tentang pohon-pohon yang ditanamnya satu per satu, tentang tamu-tamu yang datang dan membawa cerita masing-masing, dan tentang awal mula semua ini.
"Dulu saya beli tanah ini tahun 1994," ujarnya, sambil memandangi kolam yang tenang. "Harganya sepuluh ribu per meter. Orang-orang bilang saya nekat. Tapi saya percaya, tanah itu hidup. Nggak semua hasil bisa langsung dipetik."
Saya mengangguk. Kata-katanya seperti angin yang datang dari masa lalu dan meniupkan sesuatu di hati saya.
Teras Rajeg bukan hanya taman. Ia punya urat nadi sendiri. Jalur setapak dari batu, pelaminan di tengah rerumputan, lampu gantung yang mulai menyala ketika senja turun. Tapi yang paling saya ingat adalah pola di depan pelaminan: lukisan lantai bergaya Calcada Portuguesa. Mozaik hitam putih itu seperti serpihan Lisboa yang tersesat di Rajeg. Saat saya berdiri di atasnya, sekelebat kenangan dari Portugal muncul. Tak saya sangka, motif lantai bisa menyentuh perasaan sedalam itu.
Senja datang perlahan, tidak tergesa. Lampu-lampu mulai bersinar, jatuh ke rumput seperti bintang yang menepi. Dari kejauhan, saya mendengar bunyi "ting tong"---kereta lewat. Dan saat itu juga saya sadar, bila kita berlari dari taman ke stasiun, kita mungkin tak akan tertinggal kereta. Ya, sedekat itu. Bahkan tak perlu terburu-buru, langkah cepat pun cukup.
Saya berdiri di tepi taman, memandangi bayangan pohon rambutan dan mangga yang mulai samar di langit temaram. Angin senja turun pelan, membawa suara jangkrik dan aroma tanah yang mulai lembab.
Sore telah berubah jadi senja. Lampu-lampu gantung mulai menyala, menggantung dari pohon ke pohon seperti kunang-kunang yang dipaksa rapi. Huruf-huruf besar "TERAS RAJEG" di depan taman jadi latar foto paling favorit. Kami juga sempat berfoto di sana.
Mungkin ini yang disebut keajaiban kecil: sebuah tempat yang tak megah, tapi jujur. Ia tidak sibuk menjadi apa-apa, hanya hadir dan menyambut. Teras Rajeg bukan destinasi wisata dengan brosur dan tiket masuk. Ia lebih mirip ruang singgah bagi mereka yang ingin sejenak---berhenti, menata, atau bahkan menikah.
Waktu saya pulang dan berdiri lagi di peron, saya menoleh ke belakang. Dari sana, papan nama itu terlihat samar, tapi cukup jelas untuk diingat.
Dari tempat saya berdiri di depan stasiun, saya bisa melihat lahan Teras Rajeg, terasa sangat dekat di hadapan sana, samar di balik pohon rambutan. Saya berpikir, mungkin perjalanan terbaik bukanlah yang paling jauh, tapi yang membawa kita ke ruang tak terduga---di sela kampung, di pinggir stasiun, tempat mimpi sederhana disusun perlahan.
Dan saya tahu, suatu saat nanti, saya akan kembali. Kembali ke tempat " Out door venue" yang bak Punya stasiun pribadi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI