Setelah cukup lama menikmati keindahan dan kemegahan S de Lisboa---katedral megah yang berdiri anggun di atas lapisan hampir seribu tahun sejarah Lisboa ---saya kembali melangkah ke halte trem yang berada di seberangnya. Di langit Lisboa yang masih sedikit muram berawan, saya menanti kedatangan trem nomor 28, si kuning legendaris yang telah menjadi ikon kota.
Sekitar sepuluh menit kemudian, ia datang dengan suara khas: berderit dan menggema di antara bangunan tua. Walau kali ini penumpang lebih banyak, saya beruntung mendapat tempat duduk di pojok belakang sebelah kanan---tempat favorit untuk menikmati pemandangan dari balik jendela kayu yang sempit.
Trem 28 merambah lorong-lorong sempit kawasan kota tua Lisboa. Jalanan mendaki, kemudian menurun curam, menikung tajam, lalu berderak di atas rel batu. Kadang-kadang jalan juga agak lebar dan saya melihat toko-toko kecil, restoran, cafe, atau bahkan penginapan kecil. Lain waktu, dinding bangunan seakan begitu dekat hingga terasa bisa disentuh. Perjalanan ini terasa bak seperti masuk ke dalam lorong waktu masa lampau, lengkap dengan rasa, aroma, dan suara.
Menurut rencana perjalanan yang saya buat semalam, saya ingin turun di Largo das Portas do Sol untuk berjalan kaki sekitar 7 menit menuju Castelo de Sao Jorge. Di atas bukit itu, benteng tua berdiri, memayungi Lisboa. Konon, dari sana, kita dapat melihat pemandangan yang terbaik: atap merah yang berjejal seperti pecahan puzzle, Sungai Tagus yang memantulkan cahaya pagi, dan burung camar yang terbang di langit. Tapi saya kemudian baru sadar. Halte tersebut berada sebelum saya turun di S tadi. Dan kini, trem sudah bergerak ke arah berlawanan, menuju ujung rute di Campo de Ourique, dimana terdapat Cemiterio dos Prazeres.
Saya melirik Arloji di lengan kiri saya, waktu sudah menunjukan hampir tengah hari. Tampaknya tidak cukup waktu untuk menjenguk pemakaman paling terkenal di Lisboa ini. Maklum saya harus terbang ke Frankfurt di sore hari dan sebelumnya harus kembali dulu ke penginapan untuk mengambil tas dan barang bawaan.
Ada rasa sedikit menyesal, karena sejak awal saya memang ingin mengunjungi dua tempat itu---Castelo de So Jorge dan Cemiterio dos Prazeres. Yang satu menawarkan pandangan luas ke seluruh kota dari atas dinding benteng tua; yang satu lagi menawarkan ketenangan dan refleksi di antara makam-makam kuno yang elegan, semacam Pre Lachaise-nya Lisboa.
Konon, suasana di pemakaman ini menawarkan pemandangan indah ke arah Sungai Tagus dan Jembatan 25 de Abril. Suasananya tenang dan damai, cocok untuk refleksi dan kontemplasi. Ini bukan pemakaman biasa dengan batu nisan kecil. Cemitrio dos Prazeres dipenuhi mausoleum megah dari keluarga-keluarga bangsawan, tokoh-tokoh penting, dan artis Portugal. Setiap makam seperti karya seni tersendiri, lengkap dengan ukiran, jendela kaca patri, dan patung-patung marmer.
Akhirnya, saya memutuskan turun di halte berikutnya. Sejenak melihat-lihat toko suvenir kecil dan membeli minuman ringan . Dari sini saya naik Trem 12 yang rutenya memutar kembali menuju Martim Monez. Kebetulan terpampang di petunjuk arah yang ada di depan trem.
Warnanya merah marun, lebih anggun daripada si kuning 28. Di tengah hujan rintik yang mulai turun, saya melangkah masuk. Jalanan basah.
Trem 12 menyusuri rute yang tumpang tindih sebagian dengan Trem 28: gang-gang sempit, tikungan tajam, rumah-rumah tua yang catnya mulai luntur, dan teras-teras mungil dengan tanaman dalam pot. Kami melewati jalur yang seolah hanya cukup untuk trem sendiri. Jika ada mobil melintas, salah satu harus mengalah.
Ternyata trem ini melewati tempat yang sudah saya kenal, yang saya kunjungi dua hari lalu. Di sini, di dekat Praa Lus de Camoes saya turun. Hujan rintik masih membasahi bumi Lisboa, namun orang-orang tetap ramai berlalu lalang dengan payung terkenbang.
Di alun-alun ini berdiri patung penyair besar Portugal, Lus de Camoes, yang namanya melekat pada sejarah sastra negara ini. Di sekelilingnya, bangunan bergaya Pombalina dengan balkon besi tempa berjajar rapi. Toko-toko tua menjajakan barang antik, kafe menyajikan kopi yang harum, dan jendela-jendela kecil terbuka menghadap ke plaza.
Saya ikut mengembangkan payung, berjalan perlahan, menikmati suasana. Di satu sudut, pastel de nata tersusun rapi di balik kaca toko roti. Wangi kayu manis dan vanila mengepul keluar. Saya mampir sebentar, membeli pastel seharga 1 setengah Euro atau "Um euro e meio"