"Kalau mau dapat tempat duduk, naik trem 28 pagi pagi dari Martim Monez," demikian pesan Thiago, tuan rumah tempat saya menginap tadi malam. Karena ini pagi pagi sekali saya sudah berjalan menuju stasiun metro Alfarnelos untuk ke Martim Monez.
Lisbon menyambut pagi dengan langkah lambat. Kabut tipis masih menggantung di langit, seakan belum ingin menyerah pada terang sepenuhnya. Di Martim Moniz, tempat beragam wajah dunia berkumpul dalam satu alun-alun kecil, saya berdiri menunggu trem nomor 28---trem legendaris yang bukan sekadar kendaraan, tapi seperti serpihan waktu yang masih setia melintasi jalur batu.
Tubuh kecil warna kuning trem itu datang perlahan, mengeluarkan suara logam tua yang khas. Saya naik, bergabung dengan rombongan pagi: turis dengan mata ingin tahu, warga lokal dengan rutinitasnya, dan seorang nenek yang menggenggam tas belanja seolah menggenggam hidup. Trem bergerak, dan saya duduk di kursi kayu dekat jendela, tempat cerita biasanya mengendap paling lama.
Pandangan saya tertumbuk pada pengumuman kecil di sisi dalam trem:
ATENCAO
Para sua seguranca, nao se debruce nas janelas
ATTENTION
For your safety, do not lean on the windows
Kata janela. Mata saya terpaku. Dalam sekejap, saya teringat bahwa kata "jendela" dalam bahasa Indonesia rupanya berasal dari sini, dari bahasa Portugis. Ada semacam getar halus yang datang tak disangka. Satu kata tua yang telah menyeberangi samudra berabad lalu kini menyapa saya di negeri asalnya. Dan seperti cahaya pagi yang mengendap perlahan di lantai trem, saya merasa ditemani oleh sejarah yang diam-diam menaruh jejaknya di antara kata-kata. Ini menambah kosa kata saya untuk bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Portugis selain baju, gereja, dan boneka atau mentega. Dalam perjalanan, saya memang suka belajar bahasa.
Trem terus melaju, menanjak pelan melalui ruas-ruas jalan sempit. Rumah-rumah bertembok pastel berdiri rapat, hampir menempel ke kaca jendela. Saat roda logam berderit di tikungan tajam, atap merah Alfama terbuka seperti selimut kota yang sedang digelar. Kami melewati Portas do Sol, tempat pandangan bisa menyapu jauh hingga ke sungai, lalu melambat di sebuah perhentian kecil di depan bangunan batu besar yang menjulang kokoh: Se de Lisboa
Saya turun, dan disambut oleh dua menara kembar yang berdiri dalam diam. Tak megah berlebihan, tapi punya wibawa tua yang tak bisa ditawar. Rosase, jendela bundar besar di tengah fasad, menatap saya dengan tatapan batu yang dalam.
Sebelum masuk, saya sempat menepi ke halaman samping gereja, sebuah ruang teduh yang sepi dari keramaian turis. Di sanalah saya berjumpa dengan sosok yang diam dalam batu: sebuah patung dada Augusto Rosa, berdiri anggun di atas pedestal marmer yang mulai retak di sudut-sudutnya. Kabut tipis dan tirai pelindung bangunan yang menggantung di belakangnya seolah menjadi latar panggung bagi seorang tokoh yang mungkin terlupakan, namun namanya tetap teguh terpahat di sana:
"Ao dedicador Augusto Rosa -- A fundacao de 1957." Sebuah penghormatan bagi seorang pendedikasi, entah dalam bidang apa, namun cukup mulia hingga diabadikan di jantung sejarah kota ini.