Sekitar 15 menit kemudian, saya sudah kembali ke titik kumpul di dekat monumen. Nuno, pemandu kami yang ramah dan penuh semangat, melambaikan tangan. Ia mengajak kami berbicara santai di tengah lingkaran.
"Selanjutnya kita akan menuju Pink Street," katanya. "Tempat yang dulu penuh dengan bar dan kehidupan malam yang agak... remang. Tapi sekarang? Instagrammable!"
Kami berjalan turun mengikuti arah menuju Cais do Sodr, menyusuri trotoar yang padat namun tak pernah terasa membosankan. Jalan yang kami lalui terasa berubah perlahan, dari klasik menjadi modern, dari sejarah menjadi gaya hidup kontemporer.
Pink Street terbentang di depan kami---jalan sempit dengan aspal merah muda menyala dan lengkungan lampu gantung. Di siang hari, warnanya seperti sisa mimpi semalam. Dulu, ini adalah kawasan hiburan malam yang terkenal "liar", tapi kini justru menjadi lokasi foto para influencer. Di dindingnya masih bisa kita lihat mural dan plakat peringatan tentang transformasi kawasan ini.
Nuno menjelaskan, "Dulu tempat ini tidak cocok untuk keluarga. Sekarang sudah beda. Tapi kalau malam... yah, tetap harus hati-hati."
Saya tersenyum. Sejarah kota ini tak pernah lenyap, hanya berubah bentuk.
Namun saya tak ikut sampai akhir tur. Ini hari Jumat, dan saya sudah niat untuk salat Jumat di Lisbon Central Mosque sementara waktu sudah menunjukan hanoi pukul 12.30 siang.
Dengan senyum dan isyarat ringan, saya berpamitan dari rombongan.
Saya menjabat tangan Nuno, pemandu yang sepanjang jalan membawa kami menjelajahi jejak sejarah dengan semangat dan ketelitian.
"Obrigado, Nuno. At logo," kata saya , sambil menyelipkan selembar euro ke dalam genggamannya---sebuah tanda terima kasih yang tulus, bukan sekadar formalitas.
Ia tersenyum hangat dan membalas,
"Boa continuao e tudo de bom para si."
(Semoga perjalanan Anda lancar dan segala yang terbaik untuk Anda.)
Saya mengangguk, lalu melangkah menjauh.
Saya kemudian berjalan menuju stasiun Cais do Sodr, titik temu tiga dunia: metro bawah tanah, kereta ke kota-kota lain di Portugal, dan pelabuhan kapal yang membawa orang-orang melintasi sungai Tagus.
Stasiun ini tidak besar, tapi fungsional. Di sebelahnya, deretan bangku dan toko roti. Di depannya, dermaga kapal yang menyeberang ke Cacilhas. Di belakangnya, gerbang menuju jalur hijau metro Lisboa.
Saya naik Linha Verde (jalur hijau) menuju Baixa-Chiado, lalu berpindah ke Linha Azul (jalur biru) menuju So Sebastio. Tiket 24 jam yang dibeli tadi malam di bandara masih bisa dipakainya. Metro Lisbon bersih dan efisien. Penumpangnya beragam: pelancong, pelajar, pekerja.
Restauradores, Avenida, Marques de Pombal; Stasiun demi stasiun dilalui. Di dalam kereta, saya duduk diam, mencoba menghadirkan bayangan Cames dan suara Nuno tentang revolusi, sejarah, dan cinta akan tanah air berdenting kembali di kepala.
Turun dari metro di Sao Sebastiao, saya menyusuri Avenida Ressano Garcia yang memiliki kaki lima yang lebar dan nyaman dengan pepohonan selama beberapa saat saja.
Saya akhiri cerita ini di depan masjid. Jemaah sudah sangat ramai dan melihat penampilannya. Seakan datang dari berbagai pelosok dunia yang mewakili luasnya koloni Portugis di jaman dahulu.