Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Pengepungan di Bukit Duri, Fiksi yang Lebih Jujur Dibanding Sejarah

19 April 2025   09:28 Diperbarui: 22 April 2025   13:01 2401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film kesebelas dari Joko Anwar, Pengepungan di Bukit Duri.(KOMPAS.com/Ady Prawira Riandi)

Di tangan Joko Anwar, film bukan sekadar hiburan, melainkan ladang refleksi. Dalam Pengepungan di Bukit Duri, ia menyampaikan kisah yang berlapis dan mendalam: tentang kekerasan struktural, trauma sejarah, dan harapan kecil yang masih tersisa di tengah reruntuhan bangsa. Film ini adalah narasi yang kuat tentang Indonesia di ambang kehancuran---akibat luka lama yang terus diabaikan.

Distopia Indonesia 2027: Saat Sekolah Jadi Medan Perang
Mengambil latar tahun 2027, film ini menggambarkan Indonesia sebagai negara yang rapuh dan terpecah, akibat kebencian rasial yang dibiarkan berkembang selama hampir dua dekade. Kekerasan, diskriminasi, dan pengabaian sosial menjadi norma baru.

Di tengah atmosfer yang suram itu berdirilah SMA Duri Jakarta, sekolah yang lebih mirip zona konflik daripada tempat pendidikan. Murid-muridnya brutal, guru-guru datang dan pergi, dan sistem pendidikan hanya menjadi formalitas belaka. Di sinilah kita bertemu dengan Edwin, seorang guru pengganti yang diam-diam datang dengan misi pribadi.

Edwin: Mencari Keadilan Lewat Papan Tulis
Diperankan secara mendalam oleh Morgan Oey, Edwin bukan guru biasa. Ia telah berpindah-pindah sekolah selama bertahun-tahun, bukan karena karier, tetapi karena sedang mencari keponakannya yang hilang---anak dari kakak perempuannya yang menjadi korban pemerkosaan dalam kerusuhan rasial 2009. 

SMA Duri merupakan salah satu  tempat yang belum ia telusuri, sesuai pesan sang kakak yang dipanggil cici sebelum meninggal, yaitu SMA di Jakarta Timur.

Misi personal ini membawa Edwin ke tempat paling gelap di Jakarta, di mana ia harus menghadapi murid-murid penuh amarah, guru-guru yang menyerah, dan sistem yang tak peduli. Namun dalam upaya mengajar, mendidik, dan mencari, Edwin perlahan menggugah kesadaran anak-anak SMA Duri bahwa mereka bukan sekadar produk kekerasan, tetapi manusia yang masih bisa memilih.

Simbolisme Sekolah dan Luka Sosial
Joko Anwar menggunakan sekolah sebagai metafora Indonesia---tempat yang seharusnya jadi harapan, tapi justru menjadi sarang dendam, kekuasaan, dan kekerasan sistemik. SMA Duri adalah miniatur bangsa yang sakit: semua tahu ada yang salah, tapi semua juga bungkam.

Kekerasan dalam sekolah ini bukan karena anak-anaknya jahat, melainkan karena mereka ditelantarkan terlalu lama oleh keluarga, negara, dan masyarakat. Edwin berusaha membuka celah kecil untuk perubahan---melalui seni, melalui percakapan, dan melalui keberaniannya melawan dengan lembut.

Kehadiran Ansambel Aktor Muda Berbakat
Selain Morgan Oey, film ini dibintangi oleh Omara Esteghlal, Hana Pitrashata Malasan, Endy Arfian, Fatih Unru, Satine Zaneta, Dewa Dayana, Florian Rutters, Faris Fadjar Munggaran, Sandy Pradana, Farandika, Raihan Khan, Sheila Kusnadi, Millo Taslim, dan Bima Azriel.

Mereka memerankan karakter-karakter siswa dan guru yang kompleks: keras di luar, tetapi retak di dalam. Akting mereka menyuntikkan kedalaman dan dinamika yang realistis---memperkuat kesan bahwa ini bukan sekadar fiksi, melainkan cermin masa depan yang mungkin sangat nyata.

Internasionalisasi: Amazon MGM Studios dan Judul Global
Satu hal yang menarik, Pengepungan di Bukit Duri menjadi proyek kolaborasi besar karena Amazon MGM Studios ikut terlibat dalam produksinya. Ini membuka peluang tayang global, dengan judul internasional: The Siege of Thorn High.

Dengan dukungan studio besar, film ini bukan hanya akan menggema di dalam negeri, tapi juga memperkenalkan wajah kelam---namun jujur---Indonesia ke mata dunia.

Eksekusi yang Butuh 17 Tahun
Joko Anwar sudah menyimpan naskah film ini sejak 17 tahun lalu. Dalam wawancara dengan CNN Indonesia, ia menyebut bahwa penundaan itu bukan karena ragu, melainkan karena waktu Indonesia belum siap. Baru sekarang, setelah banyak luka lama mulai dibicarakan, film ini bisa hadir dan bicara secara lantang.

Penutup: Saat Fiksi Lebih Jujur dari Sejarah
Pengepungan di Bukit Duri bukan film yang memberi hiburan manis. Ia gelap, menekan, dan penuh luka. Tapi justru karena itu, ia perlu ditonton. Ia mengajak kita merenung: sudah sejauh mana kita membiarkan kekerasan, diskriminasi, dan kebencian meracuni generasi berikutnya?

Edwin bukan pahlawan, tapi ia berani menolak diam. Dan dalam semesta film ini, menolak diam adalah bentuk keberanian terbesar.

Film ini juga menegaskan bahwa Joko Anwar bukan hanya bisa membuat film horor  mistis dengan hantu, melainkan horor psikis yang jauh lebih mencekam.  

Dua jempol untuk TEMA film yang berani mengungkap kejujuran yang selama ini lebih ska ditutup-tutupi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun