Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Senja di Galeri Seni nan Temaram di Tempuran Kali Elo Progo

13 Maret 2023   15:38 Diperbarui: 13 Maret 2023   15:46 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Galeri Seni dengan Lukisan Relief: Dokpri

"Ayo kita ke mampir ke galeri Bang Sony," demikian ajak Bang Erwin sore ini sambil Bersiap-siap menghidupkan kendaraan.  Tidak lama kemudian kami sudah menyusuri jalan kampung di belakang Omah Garengpoeng menuju ke Elo Progo Art House.  Awalnya mobil ingin masuk langsung menuju galeri melalui sebuah jalan sempit, namun karena ada batang-batang pohon yang menutupi jalan, kami kembali mundur dan jalan memutar lewat Coffee & Resto .

Kali Progo: Dokpri
Kali Progo: Dokpri

Kami melihat sebuah kendaraan sedang parkir yang menurut Bang Erwin adalah kendaraan milik si empunya galeri ini.   Kami kemudian berjalan mendekati tebing dan melihat indahnya Kali Progo dengan aliran air yang cukup deras serta pemandangan bangunan-bangunan yang unik di sekitar.  Kebanyakan dinding terbuat dari bata yang tidak diplester dan membentuk pola yang sangat artistik.

Pintu masuk Resto&Coffee: Dokpri
Pintu masuk Resto&Coffee: Dokpri

"Resto & Coffee," demikian tertulis di atas pintu masuk menuju kawasan yang sekilas tampak sanga asri, penuh dengan pepohonan, kursi meja di tepi tebing dan juga bangunan yang sangat menyatu dengan alam.


Jalan setapaknya dibuat dari batu-batu alam, sebagian meja kursi pun dibuat dari batu walau ada yang terbuat dari kayu biasa.   Pandangan saya langsung tertuju ke sebuah bangunan dengan dinding bata dengan dekorasi yang unik  Ada sebuah mandala dari kayu dan bahkan sebuah sepeda motor yang sekan-akan ditelan oleh dinding.  Bangunan ini memiliki atap dari genting yang sebagian ditutupi dedaunan yang merambat, sama seperti sebagian dindingnya.   Di berbagai titik di antara rerumputan, kadang ada patung-patung yang ikut menambah mistis suasana di sini.

Mandala & sepeda motor di dinding: Dokpri
Mandala & sepeda motor di dinding: Dokpri

Seorang perempuan menyambut kami dengan ramah dan mempersilahkan duduk.  Dan tak lama kemudian Bang Sony pun muncul . Berpakaian kaos oblong warna putih dan mengenakan secarik kain bermotif batik.  Rambutnya dibiarkan terurai dan wajahnya dihiasi kumis dan jenggot yang sebagian sudah memutih.

Jalan setapak: Dokpri
Jalan setapak: Dokpri

Saya segera mohon izin untuk melihat galeri seni tempat berbagai lukisan dan benda seni lainnya karya Bang Sony dipamerkan.  Walau sudah pernah ke sini beberapa tahun lalu, saya tetap diberikan sedikit petunjuk arah untuk menuju ke galeri tersebut.

Salah satu bangunan: Dokpri
Salah satu bangunan: Dokpri

Di sebelah kira jalan setapak, ada bangunan kayu bertingkat dua dengan model yang unik. Di sebelahnya ada lagi bangunan dengan tulisan Warung di depannya. Di sebelahnya ada bangunan yang bagian bawahnya memiliki ruangan terbuka dengan lukisan dinding bergambar seorang perempuan.   Kami kemudian melewati gang yang sempit dengan dinding tembok di sebelah kiri dan di sebalah kanan adalah tebing kali Progo. 

Bangunan di kompleks Elo Progo: Dokpri
Bangunan di kompleks Elo Progo: Dokpri

Lalu kami sampai di kawasan Guest House, berubah bangunan-bangunan kecil dengan model pondok kecil  yang unik, bahkan memiliki kamar mandi yang konsep terbuka.  Sebuah pelataran berbentuk segi empat ada di sini dan di atasnya ada sebuah kursi goyang yang terlihat tua, antik, sekaligus ringkih.  Juga ada beberapa gazebo yang tempat bersantai di ruang terbuka.

Kursi goyang: Dokpri
Kursi goyang: Dokpri

Kami terus berjalan menyusuri jalan setapak beralaskan batu alam menuju ke galeri yang sudah tampak berupa bangunan besar yang memiliki atas genting bersusun dua. Dindingnya terbuat dari bata merah yang tidak diplester.  Sekilas rancang bangun galeri ini lebih mirip sebuah gudang besar karena minim jendela.

relief burung dan patung katak: dokpri
relief burung dan patung katak: dokpri

Masuk ke galeri, suasana temaram segera menyambut apalagi waktu menunjukkan sekitar pukul 5.30 sore dan sebentar lagi Mentari akan tenggelam.  Tanpa disadari  sebagian bulu kuduk sontak terasa berdiri.  Walau tidak ada apa-apa, kesunyian dan tata letak galeri ini mau tidak mau membuat rona misteri hadir dengan sendirinya.

Bangunan galeri dari luar: Dokpri
Bangunan galeri dari luar: Dokpri

Berjalan secara perlahan sambil menikmati lukisan di dalam galeri ini mirip berjalan di lorong Candi Borobudur karena di dinding galeri dipajang puluhan lukisan yang merupakan replika relief yang ada di candi.   Uniknya sebagian dinding bata galeri seakan-akan sengaja di beri lubang yang tidak beraturan sebagai jendela.  Tujuannya untuk memberikan sekilas cahaya penerangan di ruang dalam yang memang sedikit suram ini.  Nuansa mistis terus menaungi perjalanan di dalam galeri.

Interiro galeri: Dokpri
Interiro galeri: Dokpri

Saya berjalan cepat sambil sekali-kali melihat dan berhenti di depan sebuah lukisan.   Ruang galeri yang cukup luas ini pun dapat saya jelajahi sepenuhnya sampai ujung dan kembali ke pintu masuk dalam waktu sekitar 15 menit saja.    Saya kembali ke kawasan guest house, dan kemudian menepi ke tebing dan di sini saya melihat tempuran atau kawasan tempat kali Elo dan Progo bertemu.  

Sesekali pandangan saya lemparkan ke ufuk langit dan di sana tampak gunung Sumbing berdiri dengan gagah dengan puncaknya yang sebagian tertutup awan putih di kala senja.    Sekawanan burung blekok berwarna putih tampak terbang kian kemari dan hinggap di pepohonan dan semak-semak di seberang sungai.

Puas menikmati pemandangan di tepian tebing, saya kembali berjalan menuju ke Cofee & Resto dan kemudian duduk bertiga dengan Bang Erwin dan Bang Sony.  Sesekali ucapan dalam bahasa daerah logat Sumatera Selatan memeriahkan percakapan yang santi di temani teh manis hangat yang dihidangkan dengan teko kaleng warna hijau putih dengan motif jadoel.

Bang Sony, yang memiliki nama lengkap Sony Santosa ini berasal dari Sumatera Selatan, namun masa mudanya dihabiskan di Jakarta dan kemudian merantau ke Bali.  Bakat seninya yang luar biasa mempertemukannya dengan seorang perempuan Perancis dan mereka kemudian menikah serta mendirikan galeri seni di Bali.   Bang Sony juga sempat tinggal di Eropa bersama istrinya hingga sang istri kemudian meninggal.   Dia lalu kembali ke tanah air dan akhirnya menetap di Borobudur ini sejak 2005.   

Kini Bang Sony sudah menikah lagi dengan perempuan setempat dan memiliki tiga orang anak yang berangkat remaja.   Di Borobudur ini  dia menemukan ketenangan hidup dan bertekat terus berkarya.  Elo Progo, nama dua sungai yang bertemu di tempat ini dijadikan nama rumah seni sekaligus guest house dan juga coffee & resto yang memberikan nuansa baru bagi tempat wisata yang menarik ini

Di tempat ini pula para seniman sering berkumpul sambil mencari inspirasi dalam keheningan dan embusan angin serta udara yang segar. Tempat ini memang sangat cocok bagi yang punya minat akan seni dan keindahan alam.    

Tidak terasa, Mentari pun mulai turun ke peraduan ditandai dengan alunan azan magrib  dan semburat rona kemerahan di kaki langit.  Slihuet Gunung Sumbing masih bertengger gagah di kaki langit.

Tibalah waktunya untuk mohon pamit sambil mengucapkan banyak terima kasih kepada tuan rumah serta melanjutkan kembara di desa kecil nan asri di kawasan Candi Borobudur ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun