Selepas ziarah ke pemakaman Old Protestant Cemetery, saya kembali ke Praca de Luiz Camoes. Hari kian menjelang senja. Di tempat ini, banyak sekali penduduk Macau yang sedang bersantai. Tua, muda, maupun anak-anak. Para lansia sebagian sedang asyik bermain catur gajah, ada juga yang berolahraga, dan anak-anak bahkan sedang bermain bulutangkis.
Di tengah-tengah taman, terdapat sebuah monumen dengan pola pepohonan yang lumayan tingginya. Ini adalah monumen atau patung dari perunggu yang diberi nama “Pelukan” yang merupakan simbol persahabatan Cina dan Portugal. Air mancur kecil menambah manis monumen ini. Tambahan bebungaan warna merah, kuning, dan pink serta pohon cemara berbentuk kerucut membuat suasana Camoes Garden menjadi lebih santai Apalagi dengan hembusan angin sepoi-sepoi di udara sejuk kota Macau di akhir Desember.
Sebuah tangga besar dan lebar, dengan hiasan bunga warna merah tua dan merah hati di tengahnya serta ukiran di batu mengingatkan saya akan megahnya Istana Kota Terlarang di Beijing, nun jauh di utara sana. Puluhan anak tangga dengan gradasi yang landai membuat kita nyaman menapakinya.
Puisi ini yang ternyata merupakan karangan L Rienzi pada 1829 yang ditutup dengan kata-kata “erigiu se este monumento para que sua fama fosse transmitada a posteridade” yang artinya bahwa monumen ini didirikan supaya ketenarannya terpancar hingga tujuh turunan.
“Comemoracaoes do iv centenario da publicacao de os lusiadas 10 de junho de 1972”, demikian tertera di bagian bawah prasasti yang menyatakan bahwa prasasti ini dibuat pada 10 Juni 1972 dan dibangun untuk memperingati 400 tahun di terbitkannya karya Camoes yang paling terkenal yaitu “Os Luciadas”. Os Lusiadas sendiri sering diterjemahkan sebagai The Soul of Portugal”.
Bagi bangasa Portugis, Luiz Camoes adalah pujangga yang bisa disetarakan dengan Shakespeare bagi orang Inggris atau Homer bagi orang Yunana dan Cervantes bagi orang Sepanyol. Beliau begitu terkenal dan disanjung sehingga bahasa Portugis sendiri kadang-kadang dijuluki Bahasa Camoes.
Kisah hidup Luiz Camoes penuh dengan drama dan petualangan. Mata kanannya menjadi buta sewaktu pertemuran dengan orang Morros di selatan Maroko pada sekitar 1549. Dia kemudian kembali ke Lisboa untuk akhirnya kemudiaan berangkat ke India pada 1553. Nasib kemudian membawanya ke timur jauh, yaitu koloni Portugis di Macau ini pada sekitar pertengahan dasawarsa 1550 an.
Selama sekitar dua tahun di Macau inilah mahakarya Os Luciadas ditulis. Puisi yang bisa dibandingkan dengan Illyadnya Homer ini terdiri dari 10 Canto dan kalau ditotal memiliki 8816 baris. Ceritanya adalah kisah epik kepahlawanan bangsa Portugis yang mengarungi dunia dan samudra pada sekitar abad ke 15 dan 16.
“As armas e os barões assinalados,