Belakangan ini, banyak guru mengeluhkan betapa Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) di sekolah hanya jadi ajang pamer produk semata. Setiap akhir semester, yang ditonjolkan adalah bazar, pameran, atau video dokumentasi, tetapi substansi pembelajaran mendalam yang diharapkan tak pernah benar-benar terasa. Murid sibuk membuat kerajinan atau konten media sosial, guru sibuk mengejar kelengkapan administrasi proyek. Diskusi kritis? Refleksi mendalam? Hampir nihil. Semua berjalan seolah hanya untuk menggugurkan kewajiban.
Di tengah keriuhan P5 yang makin menjelma formalitas itu, pelatihan Inkuiri Kolaboratif yang saya ikuti justru menawarkan sesuatu yang berbeda. Inkuiri kolaboratif bukan sekadar proyek tahunan dengan tema-tema yang berganti setiap semester. Ia adalah napas baru yang menghidupkan kembali semangat kolaborasi sejati di ruang guru. Ini bukan sekadar proyek yang berujung pada pameran, melainkan perjalanan berkelanjutan yang menuntut guru untuk terus bertanya, menelaah, dan memperbaiki praktik pembelajarannya secara mendalam.
Quinn dkk. (2020) menyebut inkuiri kolaboratif sebagai sebuah proses terstruktur yang memungkinkan guru bekerja bersama untuk mengidentifikasi tantangan nyata, mendesain strategi, mengimplementasikan, dan menyempurnakan praktik pengajaran. Di sinilah letak daya magisnya. Ini bukan diskusi basa-basi. Ini adalah ruang bedah, tempat setiap guru membuka luka, menelanjangi kegagalan, dan saling membantu menjahitnya.
Saya teringat salah satu studi kasus yang dibahas dalam pelatihan. Saya, sebagai guru sejarah, meski sudah menggunakan LMS, video, dan kuis daring, terkadang mendapati murid-murid pasif. Diskusi daring nyaris tanpa ruh. Refleksi murid sekadar pengulangan materi, tanpa daya kritis. Lalu apa yang dilakukan? Terkadang, tak sekadar mengeluh atau mengganti metode sembarangan. Saya mengajak rekan sejawat untuk bersama-sama mengidentifikasi masalah, merancang pembelajaran berbasis isu nyata, dan melibatkan guru dari mata pelajaran lain. Saya menyusun proyek menulis surat terbuka tentang isu lingkungan, lalu murid menindaklanjutinya dengan kampanye sosial media. Hasilnya? Diskusi mulai hidup. Murid lebih berani mengemukakan ide.
Inilah keajaiban tahap Assess hingga Measure/Reflect/Change dalam siklus inkuiri kolaboratif. Mulai dari mengidentifikasi tantangan berbasis data, merancang strategi bersama, mengimplementasikan secara kolektif, lalu menutupnya dengan refleksi yang tidak hanya mengukur hasil, tapi juga mengubah pendekatan.
Jika dibandingkan dengan P5, inkuiri kolaboratif jelas lebih dalam dan berkelanjutan. P5 cenderung berhenti di akhir proyek, sedangkan inkuiri kolaboratif mendorong guru untuk terus menggali akar persoalan yang baru. P5 seringkali terjebak dalam pamer produk fisik, sementara inkuiri kolaboratif menekankan pembelajaran sejati melalui refleksi kolektif yang berbasis data.
Saya membayangkan, seandainya ruang guru kami bisa seperti itu, betapa menyenangkannya. Tapi ya, tentu tak semudah itu. Dalam praktiknya, saya tahu betul tantangan inkuiri kolaboratif itu nyata. Pertama, butuh budaya kepercayaan. Di banyak sekolah, guru masih canggung membuka masalah di kelas. Takut dicap "tidak kompeten". Padahal, justru di situlah letak kekuatan inkuiri kolaboratif: membuka diri secara jujur.
Kedua, butuh komitmen jangka panjang. Ini bukan proyek musiman. Komitmen untuk perbaikan berkelanjutan adalah jantung dari inkuiri kolaboratif. Setiap guru harus rela menghabiskan waktu untuk terus merefleksi dan menyempurnakan praktiknya.
Ketiga, butuh kepemimpinan yang mendukung. Kepala sekolah harus menjadi motor penggerak, menciptakan ruang aman untuk guru berdiskusi tanpa rasa takut.
Saya teringat prinsip yang ditekankan dalam pelatihan. Ada tujuh prinsip utama dalam inkuiri kolaboratif. Di antaranya berbasis data, kolaborasi setara, budaya reflektif, terstruktur tapi fleksibel, fokus pada hasil murid, pembelajaran berkelanjutan di tempat kerja, dan kontekstual. Prinsip-prinsip ini, jika dipahami sungguh-sungguh, sebetulnya sangat membumi.