Mohon tunggu...
Taufik Rahman
Taufik Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Saya bukanlah yg terbaik didunia ini, tapi saya tidak yakin ada yg lebih baik dari saya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Refleksi 70 Tahun Kemerdekaan: Wikilieaks, Pers dan Sebuah Arus Besar Perubahan

17 Agustus 2015   20:06 Diperbarui: 17 Agustus 2015   20:09 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam perkembangannya saat itu, Hindia Belanda tidak bisa lepas dari gelombang kebudayaan yang diciptakan Eropa sendiri yaitu nasionalisme, perasaan mencintai dan bangga terhadap kebangsaannya. Arus besar nasionalisme telah membuat muncul gerakan-gerakan kebangsaan ataupun kesukuan, seperti Sjarikat Dagang Islam yang bersifat kebangsaan Indonesia dan Boedi Utomo yang lebih cenderung kepada suku Jawa –priyayi Jawa. Uniknya arus besar naionalisme itu tidak berjalan sendiri seperti apa yang melanda negara-negara Eropa, tetapi di Hindia Belanda ia berjalan bersama dengan sebuah gerakan lain dari timut-tengah, yaitu Pan-Islamisme. Nasionalisme dan Pan-Islamisme telah menciptakan keresahan dikalangan pejabat Gubermen, dan akhirnya beberapa tokoh perjuangan pergerakan dibuang untuk diasingkan agar tidak mempengaruhi gerakan pribumi lebih jauh, seperti R. M Suwardi Sorjoningrat, Danurja Setiabudi, Tjipto Mangunkusomo, hingga Tirtho Adhi Soerjo.

Berbicara nama terakhir diatas, yaitu R. M Tirtho Adhi Soerjo –beberapa pendapat, salah satunya Sejarawan , Sastrawan, dan Novelis Pramoedya Ananta Toer mengemukakan bahwa R.M Tirtho Adhi Soerjo adalah “Sang Pemula” dari sebuah arus gerakan besar di Hindia Belanda. Dia adalah orang yang pertama-pertama menyadarkan bangsanya sebagai sebuah bangsa. Bersama dengan Kyai Haji Samanhudi, RM. Tirtho Adhi Soerjo mendirikan salah satu organisasi pertama pribumi di Hindia Belanda –SDI. Organisasi inilah yang pertama-tama menjadikan bahasa melayu sebagai bahasa persatuan. R.M Tirtho Adhi Soerjo menyadari bahwa bahasa Melayu tidak seperti bahasa Jawa yang mengenal kasta, bahasa melayu tidak mengenal kasta apapun dan semua orang di kawasan Hindia Belanda memahami dan bisa berbahasa melayu, sejak itulah bahasa Melayu dijadikan sebuah Lingua Franca secara resmi hingga diakui oleh para pemuda dalam sumpah pemuda.

Dalam masa-masa awal pergerakannya, Titho menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan mencari masa. Tirtho mendirikan sebuah percetakan dan menerbitkan koran pribumi pertama di Hindia Belanda yang berbahasa Melayu, koran inilah yang kita kenal saat ini dengan Medan Prijaji. Lewat koran yang diterbitkannya Tirtho menyuarakan ketidak adilan, pemerasan, kemiskinan yang ditindas, dan hukum yang menyimpang di Hindia Belanda. Melalui koran ia juga memberikan bantuan hukum kepada rakyat pribumi melalui soeloh pengadilan.

Dari tindakan R.M Tirtho Adhi Soerjo kita mengetahui bahwa diawal keberadaannya pers di Indonesia adalah perlawanan terhadap kekuasaan yang semena-mena dan timpang, pers adalah alat untuk membangun rasa nasionalisme, alat yang begitu ampuh untuk menggoyangkan kekuasaan yang korup dan culas. Pers adalah sebuah instrumen perlindungan terakhir kepada rakyat jika hukum tidak memberikan keadilan. Lebih jauh, perjuangan kita sebagai bangsa nyatanya tidak langsung dimulai dengan pertempuran senjata ataupun duduk satu meja berdiplomasi, langkah untuk menyatarakan kita sebagai inlander sebagai sebuah bangsa dimulai melaui tulisan-tulisan pers dan penghimpunan masa melalui propagandanya untuk berorganisasi. Pers adalah ruh kebangsaan.

Dilema Pers, Bisnis dan Politik

Medio beberapa tahun lalu isu terburuk yang menjadi diskursus dimana-mana adalah perselingkuhan antara bisnis dengan politik. Pada iklim demokrasi, bisnis dijadikan senjata untuk menyokong kekuatan finansial seorang politisi dalam merebut kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan akan menjadikan bisnis bertahan dan kuat karena didukung kekuasaan.


Sekarang isunya jauh lebih buruk lagi bahwa pers pun ikut dalam “perselingkuhan” itu. Jika dimasa Orde Baru pers yang kritis akan dibredel oleh pemerintah dimasa kini saat kemerdekaan pers itu dijamin oleh undang-undang, justeru pers itu sendiri yang tunduk dan mengabdikan dirinya kepada salah satu kekuatan politik, pers tidak lagi berpihak kepada kebenaran tapi ia tempo kini berubah menjadi pembohong publik yang rapi, buktinya saat pemilu 2014 lalu –publik disuguhkan sebuah drama baru bernama keberpihakan pers. Benarkah ini?

Dalam sebuah teori, demokrasi akan bisa tercapai jika negara tidak didasarkan atas negara kekuasaan (Machstaat) tapi negara harus didasarkan pada pembagian kekuasaan yang terpisah dan tidak saling terpengaruh, yaitu: eksekutif, legislatif dan yudikatif. Lebih jauh ada yang menambahkan jika pers yang netral adalah bagian dari negara atas pembagian kekuasaan itu.

Dalam kondisi untuk mencapai ke ideal an itu, maka mutlak bagi pers untuk tidak tunduk dan patuh terhadap pengaruh kekuasaan apapun. Keterbukaan informasi dalam iklim demokrasi merupakan sebuah keharusan, keterbukaan informasi adalah hak publik, yang tidak terbuka bukanlah demokrasi, yang tertutup biasanya rahasia penindasan. Membiarkan kekuasaan menutupi kebohongan kepada publik jauh lebih buruk dari keburukan itu sendiri. Dan itu bukan cita-cita dari demokrasi.

Wikileaks: kebocoran rahasia paling besar sepanjang sejarah

Saat ini, khususnya di Indonesia –sangat sedikit sekali pers yang mencoba menggoyangkan praktek korupsi yang terjadi ditanah air. Menginvestigasi dan menggali fakta secara langsung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun