Dendam yang Mengendap di Sudut Ruang Kerja
Di sebuah kantor yang tampak biasa, dengan tembok putih dan suara mesin fotokopi yang monoton, tersimpan sebuah cerita yang tidak terlihat oleh mata kasat. Cerita tentang dendam pribadi yang belum selesai, yang tumbuh diam-diam di balik senyum profesional dan sapaan basa-basi antar rekan kerja.
Namanya Fany. Sudah lima tahun ia bekerja sebagai analis di sebuah perusahaan logistik. Ia dikenal sebagai pribadi yang tenang, teliti, dan tak banyak bicara. Namun di balik ketenangan itu, ada luka yang belum sembuh---luka yang ditinggalkan oleh pengkhianatan seseorang yang dulu ia anggap sebagai sahabat di kantor: Visto, atasannya sendiri sekarang.
Beberapa tahun lalu, Fany dan Visto adalah tim solid. Bersama mereka merancang sistem efisiensi distribusi yang berhasil meningkatkan performa perusahaan. Tapi ketika sistem itu menuai pujian dari direksi, hanya nama Visto yang disebut, hanya Visto yang mendapat promosi. Visto tidak sekali pun menyebut peran Visto dalam rapat evaluasi.Â
Sejak saat itu, hubungan mereka berubah. Fany merasa dilupakan, dimanfaatkan, bahkan dikhianati.
Dendam itu tidak meledak dalam amarah. Ia tumbuh dalam senyap. Dalam cara Fany mulai bersikap pasif-agresif, menahan informasi penting, atau enggan membantu Visto seperti dulu. Tapi rasa bersalah pun datang menyelinap. Di satu sisi ia tahu dendamnya beralasan, tapi di sisi lain ia sadar: dendam ini tak membuatnya lebih kuat, hanya lebih lelah.
Hingga suatu malam lembur, ketika hanya mereka berdua di kantor, Visto memulai pembicaraan yang tertunda bertahun-tahun. Ia mengakui kesalahannya, mengakui ketakutannya sebagai atasan baru waktu itu---takut terlihat lemah jika berbagi pujian. Visto tidak meminta maaf dengan drama, tapi dengan kejujuran yang sederhana.
Fany tidak langsung memaafkan. Tapi malam itu, sesuatu yang membatu di dalam dirinya mulai mencair. Ia sadar, dendamnya tak akan mengubah masa lalu, tapi bisa meracuni masa depannya jika terus disimpan.
Kisah ini bukan tentang pengampunan total, bukan tentang rekonsiliasi yang manis. Tapi tentang keberanian untuk melepaskan beban yang tak lagi berguna. Dendam, bila tidak dibicarakan dan disembuhkan, hanya akan menjadikan kita tahanan dalam kisah kita sendiri.
Antara Stoikisme dan Dendam