Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kedewasaan yang Seimbang

9 Januari 2021   23:46 Diperbarui: 10 Januari 2021   00:12 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apabila kita mendengar kata dewasa, yang pertaa kali terbesit sudah pasti mengarah kepada usia.Akan tetapi dewasa memiliki pemaknaan yang luas tergantung konteks kalimat yang digunakan. Bisa jadi dewasa mengindikasikan waktu, kematangan berfikir, atau sifat yang menunjukkan ciri dewasanya.

Dalam tulisan ini, nantinya akan lebih fokus pada apa itu "kedewasaan" menurut pemaknaan dan pengklasifikasian yang sangat subjektif dan diambil berdasarkan pengalaman yang tentu banyak menyiratkan ilmu.

Kedewasaan sendiri menjadi kata sifat karena telah mendapat imbuhan "ke-an". Sifat dewasa sendiri tidak bisa dipatok dengan rentang usia. Karena sifat dewasa ini merupakan sebuah keadaan diri/ahwal dari suatu proses kejadian. Anak kecil sangat mungkin sudah memiliki kedewasaan pada titik tertentu, begitu juga sebaliknya, orang tua juga mungkin memiliki ciri kekanak-kanakannya. Kedewasaan tidak berbeda jauh dengan kata-kata sifat lain seperti iman, sabar, ikhlas, yang merupakan suatu capaian yang bersifat naik-turun atau dinamis.

Segala sesuatu yang sifatnya dinamis memiliki ciri mudah untuk didefinisikan atau dikriteriakan bahkan diupayakan untuk dapat memiliki sifat-sifat tersebut. Namun, hal yang sulit dari sesuatu yang dinamis adalah menjaganya agar seimbang, stagnan, atau tidak goyah. Celakanya, apabila kita mempertahankan suatu sifat itu, menimbulkan potensi lain terhadap oranglain yang memandangnya sebagai sesuatu yang idealis. Oleh karena itu, kata sifat termasuk kedewasaan ini nantinya akan sangat bergantung kepada kesadaran akan posisi dalam satu titik ruang dan waktu (empam papan)

Melihat karekteristik dari kata dewasa itu sendiri yang sangat luas. Dan untuk mempermudah dalam pembentukan karakter yang menunjukkan sikap kedewasaan, maka dewasa akan dibagi ke dalam 3 bagian, pertama dewasa secara intelektual; kedua, dewasa secara mental; dan ketiga, dewasa secara spiritual. Dari ketiga bagian ini apabila diselaraskan nantinya akan menghasilkan kedewasaan yang seimbang yang berwujud pada moral atau akhlak pribadi yang lebih baik dalam melaksanakan tugas dalam konteks habluminannaas.

Intelektualitas yang Dewasa

Mayoritas anak-anak masih belum bisa terlalu memiiki kontrol atas keinginan mereka. Belum bisa menimbang secara tepat kapan keinginan mereka dapat terpenuhi kecuali karena ada perhatian atau perlindungan dari orang yang lebih dewasa. Dewasa secara intelektual ini nantinya akan sangat terkait dengan pola yang harus ada dalam konteks kepemimpinan. Yang lebih dewasa menjadi pemimpin bagi yang belum dewasa. Yang belum dewasa juga merasakan aman dan nyaman ketika mendapat perlindungan dari yang lebih dewasa.

Dalam serial pilot bangsa, nantinya sikap kedewasaan ini akan masuk dalam porsi 10% atas. Untuk mengetahui bagaimana dewasa secara intelektual, saya mengambil khasanah ilmu dari Mas Sabrang tentang 4 pola berfikir, yaitu deklaratif, kumulatif, serial, dan paralel.

Pola pikir deklaratif ini memiliki ciri penggunaan kata "atau", dengan kata lain pola ini hanya mengambil salah satu dari dua atau beberapa pilihan yang tersedia. Misalnya rambutan atau salak, baju, sepatu, atau tas, iya atau tidak, benar atau salah. Dari beberapa opsi tersebut, insting atau naluri manusia akan memilih salah satu atas apa yang mereka anggap dapat menambah kenikmatannya. Nantinya, pola deklaratif ini sangat identik dengan sikap utama yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin, yakni sidiq atau jujur dalam menentukan suatu pilihan.

Pola deklaratif ini emiliki kelemahan jika opsi yang tersedia merupakan sebuah data pendapat. Dia hanya akan mengambil salah satu yang dianggap sesuai dengan seleranya hingga menutup kemungkinan atas data atau pendapat yang lain. Oleh karena itu, pola deklaratif ini nantinya akan berkembang menjadi pola kumulatif yang memiliki ciri penggunaan kata "dan". Orang berpola pikir kumulatif mulai mampu mengambil beberapa pilihan.

Dengan kata lain orang yang memiliki pola pikir kumulatif mulai bisa dipercaya mengemban sebuah amanah. Mulai bisa menyediakan diri untuk menampung berbagai macam pendapat dan mengembannya. Meskipun, harus dengan melewati proses banyak menghitung dan mempertimbangkan.

Kemudian pola kumulatif ini berkembang menjadi serial dengan penggunaan pola "jika-maka". Orang berpola-pikir serial ini mulai bisa membaca konsekuensi atau akibat dari pilihan jalan yang diambilnya, sehingga memungkinkannya menjadi seorang yang tabligh. Orang yang sudah mencapai bisa berpikir secara serial, setidaknya dia sudah mengantongi 3 sifat yang mesti dimiliki sebagai seorang pemimpin.

Yang terakhir pola pikir paralel, yakni dengan penggunaan pola yang sama dengan serial (jika-maka) tapi banyak. Maka dari itu orang yang sanggup berpikir secara paralel tergolong ke dalam orang yang fathonah atau cerdas. Apabila seseorang mampu mebaca diri dengan terbiasa niteni pola-pola pemikiran yang dipakai. Maka bisa dikatakan dirinya sudah dewasa secara intelektual.

Mentalitas yang Dewasa

Intelektualitas tanpa diimbangi dengan mentalitas ibarat macan ompong. Tidak ada keberanian untuk mengaktualisasikan apa yang sudah dimiliki. Kalaupun mental hanya dianggap sebagai sebuah kesembronoan atau sesuatu yang idealis. Itu hanya sebuah penilaian yang datang dari luar diri kita. Oleh karena itu, dari dalam diri kita perlu dengan baik meniti pembangunan mental yang dewasa.

Mendapati dari nilai maiyah, bahwasanya ada 3 hal yang bisa menjadi sebuah proyeksi dari mental yang dimiliki, yakni garis, bidang, dan ruang. Orang yang memahami konsep garis sebagai pebacaan mental diri didapat dari pengalaman jasad yang dialami sehari-hari. Yang mana pebacaan "jika-maka" atau sebab-akibatnya sangat sederhana.

Sedangkan orang yang memahami konsep bidang sebagai kumpulan garis-garis, akan membaca proses sebab-akibat sebagai sebuah pola yang membutuhkan alat bantu akal sebagai proses mengolah data atau informasi yang didapat. Perbedaanya, kalau orang dengan konsep garis mendapati gatal dikulit, maka ia akan segera menggaruknya. Sedangkan orang dengan konsep bidang, apabila mendapati gatal sebagai suatu ketidaktahuan, maka ia akan menggaruknya dengan mendengarkan, belajar, ataupun bertanya.

Yang ketiga adalah manusia dengan konsep ruang, yakni orang yang sudah banyak mendapati pengalaman-pengalaman bidang sehingga akan berevolusi yang memungkinkan dirinya sebagai ruang. Karena sudah mendapati banyak sudut pandang dari pengalaman bidang. Kita sering keliru bahwa konsep manusia ruang adalah manusia yang mampu menjadi wadah atau menampung berbagai jenis orang. Padahal, konsep ruang disini lebih mengarah ke manusia yang pandai menata atau meletakkan suatu barang/benda/perabot sesuai pada tempatnya. 

Hingga akhirnya yang terlihat dari konsep ruang adalah bukan pemaksaan kebenaran, kebohongan, pertengkaran, permusuhan, atau perdebatan. Melainkan sebuah keterbukaan, kejujuran, kemesraan, keharmonisan, dan keindahan. Maka dari itu, Mas Sabrang pernah menyampaikan bahwa untuk menjadi manusia yang memahami konsep diri sebagai ruang. Mungkin membutuhkan lebih banyak waktu lagi untuk kembali direnungkan.

Dewasa secara Spiritual

Dengan mengambil perumpamaan tingkatan laku dalam islam, dewasa secara spiritual terbagi menjadi 5 klasifikasi, yaitu dewasa secara syariat, tarekat, hakikat, makrifat, dan cinta. Dewasa secara syariat berciri sifatnya alamiah dan sesuai dengan ketentuan qodrat-Nya. Jika kita melihat usia sebagai tingkat kedewasaan, hal ini tergolong dalam kategori dewasa secara syariat. Kita tentu tidak asing dengan penciptaan kita sebagai manusia yaitu tidak lain hanya untuk beribadah kepada Allah Swt.(51:56)

Tapi dalam ilmu yang didapati dalam syariat, perlu sebuah aktualisasi yang nantinya akan mewujudkan dewasa secara tarekat. Hal ini sangat butuh banyak pengendalian diri karena sulit untuk mempresisikan laku dengan kata yang biasa diucapkan. Iman dan taqwa sangat ditempa dalam tarekat karena harus eling lan waspada. Misalnya dalam hal taqwa atau sikap waspada, ada perintah untuk bersungguh-sungguh dalam ketaqwaan (3:102). Namun, disisi lain, Allah Swt. juga memberi opsi untuk bertaqwa sesuai dengan kemampuan masing-masing (64:19).

Dewasa secara hakikat pernah didapati dalam maiyah, Mbah Nun pernah berpesan bahwa dewasa merupakan keseimbangan batin, yakni memiliki banyak pengetahuan dan penerimaan dalam membaca wujud-wujud kewajaran sosial, serta mengutamakannya di atas kewajaran pribadi. Oleh karena itu, dewasa lebih bersifat arif (mengetahui ke dalam) sebagai wujud pembelajaran diri. Kalaupun dewasa dimaknai sebagi sesuatu yang 'alim (mengetahui secara meluas), perlu kelengkapan sifat hakim (kebijaksanaan).

Mbah Nun pernah mengatakan bahwa semoga kita diberi perlindungan dari orang-orang 'alim yang tidak bijaksana. Karena lebih baik baik dipimpin oleh orang yang dianggap bodoh tapi bijaksana daripada yang 'alim tapi tidak bijaksana.

Lalu, terdapat dewasa yang makrifat. Intisari nilai kedewasaan dengan konteks makrifat ini juga didapati dari Mbah Nun, bahwa dewasa merupakan kebesaran jiwa serta memadainya wawasan pada suatu pihak yang bersalah dan bisa melihatnya akan menjadi suatu hikmah. Karena apapun kebenaran yang dimiliki manusia memiliki batas atau limitasi. Efeknya akan dapat dilihat dari kebiasaan untuk lebih memilih opsi untuk memaafkan daripada membalasnya. Kalaupun terbesit rasa membalas itu pun karena kelemahan dan ketidakberdayaan, dengan penuh pertimbangan dan kesadaran akan dipasrahkan kepada Allah Swt. yang sejatinya memiliki dirinya.

Dan yang terakhir dari dewasa secara spiritual adalah sikap dewasa yang penuh dengan cinta. Tapi cinta disini lebiih mengarah ke kebiasaan menahan diri atau menggunakan prinsip puasa. Dengan prinsip puasa, kita tidak secara otomatis dan naluriah menuruti keinginan. Kita mengenal perhitungan, sopan santun, dialektika hubungan, dan masih banyak lagi. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan kembali sebelum mengambil suatu keputusan. 

Setidaknya beberapa pengklasifikasian di atas merupakan hasil tadabbur sendiri atas ilmu-ilmu yang banyak berceceran dalam maiyah. Ketika saya memunguti ilmu-ilmu tersebut, saya hanya mencoba untuk menata agar lebih mudah untuk dipelajari dan dipahami susunan dan wilayah-wilayahnya bagi para pejalan maiyah yang lain.

Sebenarnya tidak ada ilmu yang hasilnya tidak memudahkan, namun kita banyak mendapati bahwa pengetahuan ilmu sendiri berbeda dengan pengetahuan data yang bisa diidentifikasi dengan nilai atau skor. Berbicara mengenai ilmu mungkin sangat mudah, namun yang menentukan keberhasilan diri dari memahami sebuah ilmu bukanlah nilai atau skor dari orang 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun