Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Mikul Nyawiji, Mendhem Gengsi

22 April 2020   22:07 Diperbarui: 22 April 2020   22:20 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suara orkestra musik klasik ini menjadi hiasan tersendiri untu memulai keberangkatan kalimat demi kalimat yang tak tahu akan tersusun seperti apa. Hanya saja jari-jemari seperti biasa hanya ingin menari terlebih dengan pekikan ataupun lengkingan dawai biola yang terdengan kian merdu.

Menikmati makna yang selalu bersembunyi di balik isyarat tiap keadaan yang selalu kita lihat atau rasakan. Menyimpan cinta-cinta yang tak ingin dicumbu oleh sembarang manusia. Membumbungkan hasrat kenikmatan diri, bahwasanya hamba terlalu banyak meminta tanpa ingat akan menerima.

Biarlah, biarlah hati ini menggerakan raga untuk selalu menyatakan cinta. Kita tidak bisa memaksa, apalagi mencipa sesuatu atas keinginan atau kehendak. Mungkin. Jika Maha Tidak Tega melihat segala bentuk ungkapan yang mewujud dalam berbagai rona laksa. Jika saja segala laku bias manusia adalah wujud akan asih Sang Maha.

Pinta demi pinta dari hamba -dari yang sembrono hingga taat- selalu Engkau wujudkan sesuai dengan kadarnya masing-masing. Tak satupun rintih luput dari perhatianmu.

Hingga keangkuhan kami membutakan ketidakadilan yang telah terselenggara sedemikian rupa. Ilmu yang sejatinya bertujuan untuk menembus berlapis-lapis langitmu, malah dituju ke kedangkalan bahkan kedalaman fanamu. Kesalahpahaman menjadi tak terkira, semua serba terbalik entah menuju satu diantara dua.

Yang besar tak lantas menjadi ruang, yang kecil semakin menggila karna merasa besarnya. Yang patuh tak lantas mampu menerima prasangka yang dhalim, sedang yang dhalim pun lupa akan prasangka atas dirinya sendiri yang serba merasa paling.

Kelembutan kasih yang kau ciptakan untuk membersamai kami dalam makhluk mikro ini terasa dahsyat. Segala niat yang kami ungkapkan dalam kata hidup dan matiku hanya untuk beribadah kepadamu seakan terpental. Membuat gaduh akal-akal kami yang telah tertuhankan.

Kami merasa mabuk cinta, ternyata dikasih kelembutan arak Corona pun telah membuat hilang kesadaran. Tapi, lantangnya kejujuran satu demi satu akhirnya terkuak, meski gengsi untuk mengungkapkan bahwa diri hamba-hamba ini telah diperingatkan.

Jika memang cinta, bisakah kerinduan ini mengutamakan kesatuan daripada kepentingannya masing-masing. Baik secara materiil-nomateriil, benar-salah, baik-buruk, jasad-batin. Apapun yang membedakan bisakah dikesampingkan terlebih dahulu?

Mikul nyawiji, mendhem gengsi. Bukankah jika lebih cepat memutuskan kebersamaan, segalanya dapat lebih mudah untuk segera dituntaskan? Apalagi melihat geliat pergerakan kemandirian dalam menyambut kedatangan kelembutan asihnya melalui wujud yang tak kasat mata. Bukan ghaib, tapi nyata-nyata sedang membersamai.

Menginginkan sebuah penyelesain, tapi enggan dengan tantangan. Menginginkan sebuah perubahan, namun enggan menghadapi ujian. Bukankah Tuhan berfirman,"Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun