Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Adakah yang Lebih Menepati Janji Selain Sang Maha Kata?

11 September 2019   15:50 Diperbarui: 11 September 2019   16:18 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
media.timetoast.com

Mungkin segala kata-kata ini termasuk ke dalam suatu ghibah yang tak berkesudahan. Bahkan tak tahu sampai dimana batas atau ujung segala keghibahan ini. 

Tak ada lawan bicara, hanya sangkaan-sangkaan yang menguap ke segala penjuru semesta. Segala muatan pengetahuan pun tidak memuncak ke dalam lajur kepintaran, melainkan hanya menjatuhkan ke dalam jurang kebodohan.

Cukup hanya mereka yang sanggup bertahan membaca segala ketidakjelasan, selama rekan masih berjuang mencari sesuatu yang jelas. Disaat segala prasangka tentang suatu yang disebut kejelasan ini, hanyalah mengarah ke ketiadaan. Untuk menafsirkan ayat-ayat yang tertulis pun membutuhkan suatu dialektika rasa, apalagi untuk mencerna ayat-ayat yang tidak tertulis.

Apa yang tercipta bukanlah gubahan seorang pujangga ataupun perangkai kata yang ulung. Apa yang tercipta hanya sebatas kegemaran mempermainkan kata-kata. 

Berbeda dengan yang sengaja menyusun secara formalitas demi sebuah keuntungan, demi sebuah keberadaan, bahkan demi sebuah kekuasaan. Sedangkan segala ketidakjelasan ini, dengan keegoisannya hanya menyampaikan rasa ketidaktahuan. Mengapa? Karena rasa tahu itu terlalu menjerumuskan hingga sering mengacuhkan kegembiraan bersama. Rasa tahu itu terlalu angkuh untuk diajak duduk dan ngopi bersama.

Kalau rasa mengetahui itu ibarat cenayang yang bisa melihat tabir-tabir yang tidak semua bisa memaknainya, anggaplah segala kata yang terbaca adalah ketidakwarasan yang menjerumuskan. 

Bagaimana kata-kata bisa menggambarkan segala yang telah digariskan? Sekalipun atas nama kebenaran dii zaman yang sedang mabuk kebenaran. Siap-siaplah dengan kegilaan untuk menabrak batas-batas kewarasan. Kecuali kata-kata itu dibawa atas nama seseorang yang sedang duduk di singgasana dengan segelumit kepentingannya.

Bahkan, rasa tahu itu terlalu mempengaruhi bangsa ini hingga  menginginkan sebuah kekayaan, kesejahteraan, bahkan kemajuan. Yang terkadang, mereka mesti mengorbankan harga diri sebagai suatu bangsa demi mencapai tujuan-tujuan tersebut. 

Pendidikan-pendidikan formal jarang mengajarkan tentang jati diri, kesetiaan, ataupun cinta yang justru perlu untuk dipelajari sebagai bekal kita mengarungi kehidupan. Tak hanya sekedar berburu penghidupan yang sering dijadikan arena pertarungan ataupun perselisihan yang tak semestinya perlu dipertaruhkan.

Selain itu, segala kata yang tergores mesti sadar akan lakunya, bahwa daya ingat sangatlah terbatas,sehingga yang akan menjadi makna memerlukan catatan untuk membantu kata-kata merangkai kembali kembali apa yang telah didapatkan. 

Jadi jangan pernah sangka segala kata-kata yang tercipta adalah seorang penulis atau sastrawan. Tulisan ini tidak pernah memperhatikan gramatikal atau KBBI. Bodo amat! Biarkan mereka yang merasa ahli dalam kepenulisan yang menilainya.

Dan jangan sangka aku ini adalah aku. Kamu hanya bisa berprasangka bahwa aku ini seperti wujud yang tergambar oleh cahaya yang masuk ke dalam matamu. Aku yang terdapat pada halaman pertama, bisa sangat berbeda dengan aku yang terdapat pada halaman kedua, dan aku-aku yang eksis di halaman-halaman berikutnya. 

Aku memiliki banyak sisi yang tidak bisa begitu sederhana engkau maknai salah satu sisinya. Karena itu hanyalah kepingan yang sangat variatif dan kompleks. Karena aku sendiri, belum menemukan dan masih terus berjuang mencari aku.

Akan tetapi, kata-kata itu sendiri akan sangat berguna bagi manusia sebagai salah satu media informasi dan komunikasi. Kata-kata bisa menjadi sebuah bukti ingatan sejarah, keindahan ungkapan rasa cinta, ataupun senjata manipulasi untuk membalikkan fakta. Andai saja kata-kata ibarat janji bagi mereka yang menciptanya. Andai saja para pencipta kata itu menyadari asal muasal ide yang tercurahkan hingga mampu dituangkan menjadi kata.

Bahwasanya ada Sang Maha Kata-Kata yang sudah pasti menepati segala janjinya. Penyair sejati yang selalu mempertahankan keindahan kata, yang tersurat maupun yang tersirat. Yang tak pernah menagih hak cipta-Nya akan kata-kata yang banyak dimanipulasi demi keuntungan maupun kekuasaan.  Wa man aufaa bi'ahdihii minallah (9:111), dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun