Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Essai | Jangan Kau Hidupkan Maiyah

13 Mei 2019   14:57 Diperbarui: 13 Mei 2019   14:58 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saudara-saudaraku tak bisakah engkau berhenti menuntut maiyah? Walaupun ia sanggup, tapi ia hanya melihat egomu. Untuk lebih mengeksistensikan diri. Walaupun disana ada lautan ilmu, tak bisakah engkau hanya mendengar, menikmati saat-saat suara itu hadir memeluk kalbu. Hingga terkadang peluh air mata ini tak terasa ikut terurai.

Maiyah itu tak penting karena itu hanya sebatas identitas, lebih penting kenikmatan saat kita dapat duduk menikmati keindahan kebersamaan, saling sapa antara langit dan bumi, melontarkan sholawat sampai canda tawa dalam naungan penuh kemesraan. Silaturrahmi itu lebih berkesan daripada menuntut maiyah untuk merubah negeri antah berantah, dimana cara pandang kita dan pemerintah jelas saling bertolak belakang. Walaupun di tangan Allah tak ada sesuatu yang tak mungkin.

Yang menyelimuti hakikat ilmu yang tersirat, yang tersampaikan menurut kasih sayang Sang Pemilik Ilmu. Aku pun tidak pernah menemukuan kenikmatan duduk tanpa istirahat selama kurun waktu yang cukup lama di malam hari. Lebih indah daripada menikmati gemircik suara ombak di pantai, lebih anggun daripada menikmati hiasan bintang di angkasa. Entah kenapa.

Puluhan kilometer selalu kutempuh untuk dapat menikmati situasi itu. Tak peduli esok pagi mesti berangkat memenuhi tuntutan pekerjaan. Ku ajak tubuh ini memaksimalkan perannya sesekali saja, dan kurebahkan raga, berharap waktu berjam-jam dapat kulipat sejenak dalam hitungan menit. Jalan sunyi selalu kuterjang demi mencari kehangatan itu.

Setelah 9 tahun aku selalu mengikuti angin itu, tiba-tiba muncul kegelisahan yang amat mengusik. Aku takut karena merasa memiliki keluarga dalam maiyah. Aku takut jika rasa memiliki itu berputar 180' menjadi rasa kehilangan. Karena aku tak pernah kehilangan kesempatan nikmat untuk menikmati jengkal setiap rasa kehilangan. Seolah Tuhan tak mau diduakan, atau Tuhan ingin segera menemui salah satu ruh yang dicintaiNya. Seakan Tuhan ingin segera bertemu dengannya. Ataukuah Tuhan mencukupkan segala usahanya dalam kefanaan ini.

 Seakan tuntutan dan harapan semakin tinggi kepada maiyah, terutama Simbah. Sebelum terlambat, sebelum kebablasan, sebelum cinta berubah menjadi kekecewaan. Sebelum kekacauan negeri ini membuat beliau semakin bersedih. Andai kata Tuhan segera mengutus malaikat Izrail untuk segera menjemput beliau, maiyah bisa apa?

Ketika setelah acara maiyah semua berebut untuk menjemput tangan beliau, aku hanya terdiam memandang beliau, ikut menikmati lelahnya. Mendoakannya agar selalu diberi kekuatan. Serta tak tahan hati ini untuk mengurangi kelelahannya, maka aku tidak ikut mengantri dalam barisan itu. Sudah banyak doa yang beliau selalu panjatkan untuk aku, kita semua. Sekarang sudah waktunya kita untuk tahu diri untuk selalu mendoakan dan menjaganya.

Aku tak pernah menuntut apapun dari njenengan, Mbah. Tapi selalu engkau hibur hatiku, selalu kau jaga aku, selalu kau didik aku untuk menemukan kasih sayang Tuhan. Selalu kau nafkahi ruhku dengan berbagai ilmumu. Selale kau jawab segelumit pertanyaan-pertanyaanku tanpa pernah aku menyataknnya. Dalam surat pertama sampai tak kuasa aku menahan egoku sendiri untuk menganggapmu seorang Bapak karena kesunyian ini. Karena mungkin kekosongan akan sesosok itu sendiri.

 Saudaraku, beliau bukan hanya sekedar nama ataupun sebatas rupa yang selalu nampak. Namun beliau mengisi salah satu sudut hati kita yang terus menerus tumbuh. Hingga rindu untuk selalu menemani setiap malam yang dilalui tanpa henti.

Apa yang terjadi ketika ego kita menuntun untuk sesegera mungkin me-release Maiyah. Menghidupkan Maiyah  di dalam situasi seperti ini. Aku hanya tidak ingin cinta yang telah tumbuh ini dimaknai sebagai suatu yang dhohir. Biarkan ia meliputi hatiku hanya dalam batin dan jiwa. Lantas biarkan aku membawanya ke keabadian. Mungkinkah?

Pertemuan kepada orang-orang yang mencinta di jalan yang sama ini sudah lebih dari cukup. Sebuah pertemuan tanpa rencana hingga akhirnya bisa saling sapa. 

ketika kau hidupkan maiyah, apa kamu pikir ia bakal mati?

dan ketika kau adakan maiyah, pikirmu ia lekas menghilang?

Lantas mengapa mesti 'ada' ketika tidak ada pun kita sudah bebas dari kegelisahan dan sudah gembira?

6 november 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun