Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Esai | Sekawan

20 April 2019   13:00 Diperbarui: 20 April 2019   13:04 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Untuk sebentar saya renungkan (setidaknya oleh saya sendiri) adalah menjaga keceriaan anak-anak itu, bukan malah merusak moralnya, kecuali kamu Tuhan! Dan untuk sekedar catatan saja, saya ngorek-orek tentang sila-sila ini adalah dampak atas ketidakpahaman saya atas korelasi keadaan dan landasan ideologi bangsa ini. Entah itu mengenai posisinya, maknanya, atau mungkin karena telah kehilangan potensi untuk mengaplikasikan hasil dari pemaknaan sila-sila ini. Eh, sebentar! Kehilangan apa sengaja dihilangkan? Sengaja kehilangan atau telah dihilangkan? 01 atau 02?

Sekawan dalam bahasa Indonesia memiliki arti angka 4. Sebuah angka yang memiliki filosofi sebagai tonggak sebuah kursi untuk menopang segala bebannya. Bahkan, dalam Islam pun ada Ayat Kursi yang sering juga disebut sebagai doa sapu jagad. Sekawan juga bisa memiliki makna sepertemanan yang memiliki kesamaan rasa sepertanggung jawaban ataupun sepenanggungan. Tapi ada apa dengan sila ke-sekawan (empat) bangsa ini?

Sila "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan/dalam Permusyawaratan Perwakilan." Jujur saya selalu ingin menahan tawa ketika mendengar pemimpin upacara membacakan sila keempat ini. Bukan karena menyepelekan, tapi saking (sok)perhatiannya saya pada sila yang paling panjang ini justru membuat saya tak pernah habis fikir.

Itu semua dikarenakan tidak pernah adanya kesamaan realita antara tiap kalimat yang ada di dalam sila tersebut. Kata pertama adalah kerakyatan, yang tentu sangat berbeda sekali maknanya dengan rakyat. Ya sudah kalau memang yang dimaksud kerakyatan berposisi sebagai subjek, setelah itu ada kata yang dipimpin.

Rakyat itu berposisi sebagai puncak pemimpin kedaulatan, bahkan "sekelas" presiden pun seharusnya memiliki kedudukan yang tidak lebih dari rakyat. Bosnya itu rakyat dalam sistem demokrasi ini. Rakyat hanya akan dipimpin oleh Tuhan. iya, mungkin hanya saya yang saya gagal. Makanya saya sering tertawa sendiri.

Tapi kata-kata terakhir lah yang selalu membuat saya berpikir. Ini negeri orang waras semua. Ini negeri kok pada bergembira semua. Ini negeri lucu-lucu semua. Semua makhluk bahkan materi di negeri ini sangatlah cocok jika dijadikan handai tauladan.

Hikmat kebijaksanaan yang memimpin rakyat. Mana ada? Hikmat sangkaanmu! Tawa ini semakin tak bisa terbendung. Kebijaksanaan nd*smu! Adanya malah pencitraan disana-sini. Jika itu hikmat pasti kesejahteraan yang dipimpin akan selalu terjaga. Jika itu bijaksana, tidak akan ada manusia-manusia yang akan berebut kekuasaan kecuali jika hanya ingin meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Aji-aji mumpung.

Lanjut di kata permusyawaratan perwakilan. HOAKS. Tidak ada musyawarah untuk mewujudkan wakil-wakil rakyat yang benar-benar memiliki cinta terhadap bosnya(rakyat). Yang ada adalah juragan-juragan itu hanya diakali dan tak pernah dianggap. Sesuatu yang musyawarah untuk menjadikan pemimpin untuk dijadikan wali rakyat yang adil, bersih, dan transparan sangatlah susah. Dan negeri ini belum pernah sekalipun benar-benar ingin mewujdkannya.

Bos-bos di negeri ini terlalu baik. Wakil-wakil mereka dibiarkan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya. Mereka sangat baik hati walaupun sering kena tipu. Bos-bos rela rugi demi kesejahteraan wakil-wakilnya yang sangat haus akan materi.

Mungkin ini negeri hiburan bagi para penduduk langit. Gimana ada dasar negara yang mereka buat hanya sebagai formalitas belaka. Tanpa pernah dipahami, dipelajari, apalagi dilakoni. Yang ada sila-sila itu hanya terucap lewat pemimpin upacara. Yang hanya kita ikuti pelafalannya, bukan pemahamannya. Bukan tafsirnya. Hanya suaranya.

Jadi apa sebaiknya? Seperti apa seharusnya. Tidak akan pernah ketemu juntrungan-nya walau kita men-jlentreh-kan semua persoalan-persoalan yang terlanjur sudah ruwet ini. Manusia tidak akan pernah bisa melakukan perubahan ini. Kecuali tanpa campur tangan bantuan Tuhan. Jadi, gak usah sok Meng-aku-kan diri sendiri!

Jadi hikmat kebijaksanaan itu adalah kerelaan Tuhan untuk membantu menyelesaikan masalah-masalah yang ruwet ini. Dan permusyawaratan perwakilan adalah gimana kita sebagai rakyat mencoba untuk mengikutsertakan Tuhan untuk diajak duduk bersama dalam permusyawaratan. Tidak ada wakil rakyat juga bukan suatu masalah bagi bangsa ini, karena mereka sudah sangat sadar ada Tuhan yang menjadi sebaik-baiknya wakil bagi mereka.

Jadi sila ini tidak usah dibikin terlalu panjang dan terkesan seperti guyonan baut manusia-manusia zaman now. Sekali-kali ketidakwarasan ini perlu didudukkan kembali bersama-sama untuk merumuskan kembali. Setidaknya mau mencoba. Setidaknya yang keempat ini bisa menjadikan kita sekawan. Sepertemanan. Seperjuangan. 

15 February 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun