Mohon tunggu...
Almira Tatyana
Almira Tatyana Mohon Tunggu... Freelancer - Hanya Mahasiswa

Seorang terpelajar harus sudah adil sejak dalam pikiran maupun tindakan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen| Pada Lembar Ketiga Puluh

5 Agustus 2018   07:22 Diperbarui: 5 Agustus 2018   08:22 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sinar matahari mungkin lebih sering menerpa wajahnya daripada pandanganku. Aku segera bangkit dari tempat tidur dan menjalani rutinitas itu lagi. Membuatkan sarapan, menyeduh biji kopi terbaik dari dieng tinggi negeri ini dan menatanya rapi di meja makan sambil menyimak berita hari ini.

Lelaki itu datang. Aku mengalihkan pandangan dari media online yang kubaca dan segera memulai sarapanku, tanpa kata, tanpa hangatnya senyum yang seharusnya kuberikan. Dia sudah mahfum, dia segera meminum kopi buatanku, khidmat. Aku tau, karena dia sendiri bilang padaku bahwa secangkir kopiku adalah yang terbaik dari semua ini. Tapi aku tak pernah meminum kopi lagi, takkan ada lagi nikmat yang sama.

Wajahnya yang tampan yang sempat membuatku tergila gila sangat cocok dengan setelan jas yang ia pakai hari ini. Aku tau setiap detil jas itu karena aku sendiri yang membuatnya, aku tau setiap pola jahitannya bahkan lebih dari tubuhnya sendiri. Dia pernah bilang bahwa nadinya terasa lebih dekat dengan jas ini daripada helaan nafasku. Aku tak berkomentar apa apa, tapi setelan itu memang kubuat dengan sepenuh hati.

Lelak itu berangkat, mencari pundi pundi rupiah yang membuatku bisa berleha leha sambil menikmati kenikmatan duniawi dirumah. Namun, aku tidak sudi begitu, aku segera memulai pekerjaanku bertahun tahun menulis artikel psikologis , kali ini tentang penanganan pascatrauma, miris.

Perihal tentangnya, aku sedikit mengingat sosoknya yang lampau. Pemuda cerdas  dengan senyum manis dan wajah tampan mempesona. Pelanggan kopi paling idealis dengan pesanan yang sama. Tapi yang paling kuingat adalah pengetahuan dan wawasannya yang mengalahkan wajahnya yang memang sudah tampan. Sikapnya yang baik kepada semua orang dan hormatnya bukan main kepada orang yang lebih tua membuatnya pantas dipuja. Semua orang tau, bahkan dia tau, bahwa perempuan ekspresif yang suka menulis ini tergila gila padanya. Aku juga tahu bahwa dia jujur menganggapku sebatas teman baristanya yang suka berbagi segala sesuatu.

Namun suatu malam iblis --kalau tidak mau terlalu menyalahkan birahi yang tak tertahan- mengacaukan segalanya, dia tau, semua orang tau, bahwa meskipun bukan orang yang religius religius amat aku tidak akan melakukan sesuatu sebelum waktunya. Meskipun aku memujanya dulu, aku tidak akan bisa menjahit sesuatu  dengannya, toh aku sudah dilamar dengan seseorang lelaki pilihan Ayah yang yah cukup dan mau tak mau menarik hatiku. Perbedaan keyakinan juga membuat decak kagumku hanya sebatas teman saja. Namun memang iblis bisa merasuki pemuda yang selalu mengingat Tuhannya itu.

Sudahlah aku tidak mau menyalah nyalahkan iblis, Tidak pula aku murka, tidak ada, hanya luka yang mendalam sesudah itu.

Aku tau,  dia tak pernah jatuh cinta kepadaku.                                         

Artikel ku sudah hampir  selesai ketika  sadar bahwa hari sudah mencapai siangnya dan  memutuskan untuk mengunjungi restoran favoritku demi memenuhi hasrat perut yang berubah jadi gemuruh ini. Selama pernikahan ini aku hampir tidak pernah memasak untuk menyambutnya dirumah sehabis dihujam penatnya ibukota, biasanya aku akan menghabiskan waktuku di luar untuk menyelesaikan artikelku atau sesekali berkunjung ke kantor dengan mejanya yang portable tanda aku lebih suka menghabiskan waktu diluar dibandingkan tempat aku seharusnya bekerja itu. Ketika malam tiba, aku akan pergi tidur dan melepaskan sementara segala lelah, tanpa sepatahpun kata selamat bermimpi indah yang seharusnya aku merdukan, selalu, dan tidak pernah sekalipun juga dia terganggu.

Satu satunya hal yang tidak ia tahu adalah restoran favoritku masih berupa tempat pertama kali kami bertemu. Dulu,  sambil mengerjakan tugas akhir, aku menyempatkan diri untuk mengamalkan ilmu dan hobiku yaitu menjadi barista pada sebuah kedai kopi. Kedai itu kecil, kalah pamor dan tenar dengan kedai kopi yang bayar pajak selangit itu, namun kedai ini tahu membalas luhur dan membayar petani dengan harga sepantasnya. Sudah kubilang dia pelanggan kopi paling idealis dengan pesanan yang selalu sama setiap hari. Interaksi hangat yang memang menjadi asas kedai ini membuat hubunganku dengannya semakin akrab. Lelaki itu memang mahkluk mempesona berkali kali aku akui  hingga suatu hari di ujung shift malam ia meminta menu yang lain, yang manis sampai takbisa dirasa pahit kopinya lagi. Lelaki itu memang berjanji akan datang hari ini, karena ingin menyerahkan memori kesehariannya yang ia tulis selama sebulan itu-sebenarnya itu bukuku, kami memang sepakat untuk bertukar diari karena sebulan kemarin ia tak bisa mampir ke kedai ini- dan aku selalu berbaik sangka padanya lalu menjalankan tugasku sebagaimana barista semestinya. Sampai lengan kekar itu menarikku dan memojokkan tubuhku ke dinding, aku tahu (dan menyesal) karena aku sebenarnya bisa melawan, namun jiwaku sudah terberangus duluan. Setelah semua itu hanya air mata yang bisa aku hujamkan serta sepatah kata maaf dari bibirnya yang sanggup ia haturkan, lelaki itu lekas pergi meninggalkan jiwaku yang campah, hambar tak tak karuan.

Semenjak saat itu aku hanya diam.

Bisa ditebak bagaimana reaksi keluargaku- setelah sempat  hampir depresi dan akhirnya mengaku dibantu pskiaterku- terutama ayahku yang murka luar biasa sampai bersumpah demi nama Tuhannya ingin melenyapkan lelaki itu. Aku hanya bisa diam, malu dengan diriku, terlebih kecewa dengan calon pilihan Ayah yang langsung bubar seribu langkah setelah mendengar kabar itu. Mungkin kalau lelaki itu tidak bersedia bertanggung jawab dan  menikahiku maka nyawanya sudah dikejar kejar dendam seorang Ayah. Aku tidak bersedia pun tidak menolak,aku lagi lagi hanya diam.

Kopi yang aku pesan hampir terlihat sepahnya ketika aku melihat lelaki itu memasuki pintu kayu jati yang dulu aku usulkan dan pesankan langsung dari Jepara. Aku menunduk, pura pura tidak mengenal apalagi melihat serta tetap menjamah makananku.

"Aku tau kamu ada disini" ujar Lelaki itu

Sesaat aku hanya diam, sengaja tidak mau mendengar.

"Aku tahu kopi favoritmu juga tidak pernah kau ganti"

Pernyataan ini membuatku penasaran

"Bagaimana kau tahu?"

"Karena aku juga selalu datang kesini"

Meskipun aku terkejut dengan jawabannya namun pada kenyataanya aku tidak sanggup lagi untuk mempercayainya

Lelaki itu melanjutkan "Aku selalu datang kesini setiap hari mencari kedamaian, sehabis jam  kantor usai dan penatku sedang dipuncak puncaknya, aku selalu melihatmu duduk disini, dengan tempat dan pesanan yang sama seperti dulu, dan aku selalu takut untuk mendatangimu, lalu ketika kau pulang aku akan mengikuti dari belakang sejauh mungkin, hanya memastikan kau baik baik saja selama perjalanan kembali ke tempat yang kutahu tak pernah kau sudi bilang rumah"

"Apa yang kau inginkan?" kataku tajam, tanpa babibu

"Aku hanya ingin menikmati kopi lagi bersamamu, seperti dulu"

Aku terdiam. 

Lelaki itu megeluarkan sesuatu dari tas kantornya (yang selalu kusiapkan tiap pagi), dia mengeluarkan sesuatu seperti kantong dari beludru yang berbentuk persegi panjang karena mengikuti bentuk yang dilindunginya, meskipun ditutupi kain beludru, namun aku hafal bentuk buku kepunyaanku. "Ini buku diarimu yang seharusnya aku beri pada malam itu, selama dirumah aku selalu ingin memberikannya padamu tapi aku merasa jiwamu tak pernah ada disana, aku tidak akan memaksamu untuk membukanya sekarang namun aku mohon padamu untuk membaca isi yang seharusnya kamu baca pada malam itu"

Aku terdiam. Ada rasa jengah untuk menerima buku itu ketika aku mengingat desakan lengannya membuat tubuhku keras menghantam dinding kembali namun rautnya yang tulus perlahan melunakkan hatiku.

"Aku tau kamu tak sudi pulang bersamaku tapi aku harus pulang sekarang untuk mengejar deadline laporan laporan itu, aku akan menyuruh supir kantor untuk mengawasi jalan pulangmu" Lelaki itu bergegas berdiri, membayar kopi dan makanan yang sudah dingin sekarang, dan berjalan menuju pintu jati dengan ukiran rumit itu, sesaat langkah kakinya semakin ragu.

"Aku ingat ini tepat setahun yang lalu, aku.. minta maaf sekali lagi" Suaranya tercekat sendu.

Aku hanya diam.

Sinar matahari yang hangat menemani bening lembut (yang sialnya) tak bisa kuelak membasahi tiap tiap lembaran mengikuti gerakan netraku. Lembar  lembar tulisan miring ramping khas dirinya  yang terdiri dari 30 halaman penuh dimulai dari tengah buku itu berisi ungkapan hatinya selama sebulan yang juga menjadi hari hari  jelang pernikahanku yang tak sempat diakadkan itu. Yang tak pernah kutahu bahwa selama sebulan, lelaki itu pulang kerumah orangtuanya hanya untuk meminta restu. Restu untuk bersamaku, menjalin hubungan lebih dari sekedar interaksi barista dan pelanggan setianya. Mati matian pada lembar lembar pertama  untuk  tetap menjaga hubungannya dengan diriku selama ini sebagai teman yang berbagi segala, namun memang hatinya yang jujur itu tidak pernah bisa mengelak.

Lembar lembar akhir berisi pertengkaran dengan kedua orangtuanya terutama Ayahnya yang tidak pernah setuju anaknya berjodoh dengan yang beda imannya. Aku membaca lembar lembar terakhir dengan keperihan yang meradang dihatiku, karena aku mengerti bagaimana tabiat restu itu. Gemuruh sedih dan perasaan bersalah makin menghantu karena teringat bahwa sekalipun aku tidak pernah peduli hubungan dengan Orangtuanya sesudah aku.

Air bening itu tidak bisa kutahan lagi ketika aku sampai pada hari ketiga puluh , hari itu, malam naas.  

"Pada hari ke tiga puluh ini aku tidak sanggup mengelak lagi, aku benar benar menyayangimu, setulus kalbu" tulis tinta itu.

Tangisku makin pecah ketika kulihat lembar lembar hari setelah pernikahan kami hanya bertuliskan kata maaf yang juga setulus kalbu, sebesar lelaki itu menyayangiku. 

Kulihat lelaki itu datang dengan setelan jas yang aku jahitkan dan tau setiap detail. Langkahnya terpaku ketika ia melihatku sudah selesai membaca buku harianku sendiri

"Maaf" katanya, tercekat

"Sudah kumaafkan" ujarku  "Dari dulu" tulus.

Semenjak pagi itu dan seterusnya aku bersedia menemaninya nikmati kopi seperti dulu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun