Mohon tunggu...
Tasha AdindaDwi
Tasha AdindaDwi Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa

HAI

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Media Sosial dan "Tren Mental Health"

20 Mei 2022   15:00 Diperbarui: 20 Mei 2022   15:09 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kemudahan dalam mengakses internet telah memudahkan orang untuk mengikuti perkembangan peristiwa dunia. Dengan kecanggihan teknologi yang ada saat ini, smartphone dan jaringan internet kini sudah lumrah sebagai makanan sehari-hari masyarakat. Hal ini telah menyebabkan globalisasi dan pertukaran ide dan budaya di seluruh dunia. Dengan adanya internet, jangkauan penggunaan media cukup luas. Penggunaan internet tentunya tidak lepas dari media sosial. Platform media sosial yang digunakan oleh pengguna internet Indonesia untuk mengetahui apa yang terjadi di dunia terutama adalah sumber berita.

Kesehatan mental menjadi salah satu topik yang ramai diperbincangkan di media sosial akhir-akhir ini. Kalangan masyarakat sudah mulai memahami bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik, dan keduanya perlu diperhitungkan saat mengelola kehidupan seseorang.. Keingintahuan masyarakat yang tinggi terhadap informasi kesehatan jiwa mendorong mereka untuk berbagi pengetahuan tentangnya, mulai dari ciri-ciri jiwa yang sehat hingga pengembangan perilaku sehat jiwa dan berbagai gangguan jiwa. Namun, penyebaran informasi tentang kesehatan mental yang baik terhambat oleh kurangnya informasi yang kredibel dan cara mengkomunikasikannya yang salah. Faktor penyampaian ini sangat penting agar makna yang disampaikan akurat.

Dalam beberapa tahun terakhir, ada fenomena di mana pengguna media sosial, terutama anak muda, menggunakan istilah psikologis seperti gangguan jiwa dalam percakapan sehari-hari mereka di media sosial.. Misalnya, menggunakan kata "depresi" untuk menggambarkan perasaan sedih, dan mengklaim bahwa itu "bipolar" karena mudah mengalami perubahan emosional, atau menggunakan kata "kecemasan" yang mengacu pada gangguan kecemasan untuk menggambarkan perasaan kecemasan. Kecenderungan mengabaikan orang dengan gangguan jiwa dimulai dengan kesadaran akan gangguan jiwa, namun kemudian menjadi kebiasaan. Masalah ini biasanya dibahas sebagai 'pemuliaan gangguan mental', yaitu menganggap gangguan mental sebagai sesuatu yang lebih baik dan diinginkan daripada kenyataan.. Anda bisa menemukan penyebabnya dengan mengaitkan fenomena self-diagnosis yang disebabkan oleh kejenuhan informasi di Internet dan literatur populer dengan kebiasaan media sosial anak muda yang jauh lebih terbuka daripada pada era sebelumnya.

Glorifikasi gangguan jiwa yang berlebihan dapat berdampak negatif bagi seseorang yang sedang bergelut dengan gangguan jiwa. Mereka sulit mencari bantuan orang lain karena hanya dipandang sebagai pencari perhatian dan keisengan semata. Kecenderungan ini dapat menyebabkan kesenjangan dalam perawatan atau alasan orang dengan gangguan jiwa untuk melakukan tindakan yang merugikan. Hal ini karena masyarakat umumnya mendukung dan menganggapnya sebagai hal yang luar biasa sebagai pelarian sehingga penderita merasa yakin bahwa itu legal. Jika seseorang mempublikasikan klaim tentang dirinya di media sosial, tanpa menerima diagnosis resmi dari seorang profesional, ini dapat menyebabkan orang lain dengan penyakit mental membandingkan dirinya dengan orang tersebut. Pikiran seperti "mengapa saya tidak bisa seperti dia" atau "mengapa saya tidak bisa sebaik dia" dapat memperburuk kondisinya.

Salah satu contoh kasus nyata pada salah satu video di youtube yang dapat menjadi bukti bahwa mental health merupakan tren semata adalah adanya postingan yang mempromosikan mengenai sebuah produk pakaian dengan tulisan kecemasan dalam konteks mental health, yang tercetak dibagian belakang pakaian tersebut. Hal tersebut merupakan tindakan yang mengambil keuntungan dari penyakit mental dengan cara dipasarkan, yang merupakan bukan hal yang sangat bermoral untuk dilakukan.

Era digital yang berkembang pesat memudahkan kita dalam mengakses informasi dan berkomunikasi. Namun, sangat disayangkan jika kita tidak menggunakan otak dan cerdas dalam memanfaatkan kesempatan ini. Oleh karena itu, kita harus lebih memperhatikan konsekuensi yang dapat ditimbulkan dari tindakan kita. Jangan sampai niat awal kita untuk mencari solusi dan pengobatan suatu masalah atau penyakit berubah menjadi aksi kehumasan untuk merebut simpati masyarakat, hanya untuk terlihat kekinian di mata mereka.

 

DAFTAR PUSTAKA

Estetika, R. T. (2021). PERANCANGAN KAMPANYE DARING UNTUK MENCEGAH GLORIFIKASI GANGGUAN MENTAL DI MEDIA SOSIAL. Diakses melalui https://t.co/ZvY9MsSpsP

Darmadi, D. (2022). “Self Diagnosis” dan Pamer “Mental Illnes”. Diakses melalui https://news.detik.com/kolom/d-5886182/self-diagnosis-dan-pamer-mental-illness

Nurrizka, A. F. (2016). Peran Media Sosial di Era Globalisasi Pada Remaja di Surakarta Suatu Kajian Teoritis dan Praktis Terhadap Remaja dalam Perspektif Perubahan Sosial. Diakses melalui https://jurnal.uns.ac.id/jas/article/view/18198/14694

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun