Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sistem Pemerintahan Sentralistik, Rakyat Aceh No. 1 Terdhalimi

12 Oktober 2020   12:07 Diperbarui: 12 Oktober 2020   12:15 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sistem Pemerintahan Sentralistik, Rakyat Aceh No. 1 Terdhalimi.

Aceh memang unik! Ketika di jaman Orde Baru, rakyat Aceh bangkit menuntut merdeka, dalih atau alat politik yang paling kuat itu karena kesewenangan pemerintah pusat yang menerapkan sistem pemerintahan sentralistik, ekonomi yang monopolistik, kepemimpinan yang otoritarian.

Lalu permasalahn dimasa Orde Baru terselesaikan di era Reformasi, dimana pemerintahan saat itu mulai menekankan kekuatan daerah sebagai pusat-pusat kekuasaan baru akibat pendistribusian kekuasaan yang desentralis. Terjadi pemekaran sejumlah provinsi dan kabupaten/kota diseluruh Indonesia sebagai implementasi desentralisasi yang merupakan anti tesis dari Sentralistik.

Realita ini sempat menimbulkan raja-raja baru di daerah yang dalam Ilmu Pemerintahan juga politik menunjukkan gejala anti klimaks dan ketidaksiapan para pimpinan di daerah yang sebahagian besar terekruit dari tokoh-tokoh masyarakat (akibat dikembalikan haknya bernegara) yang sebelumnya belum memiliki pengalaman dalam pemerintahan dan politik. 

Dimana masyarakat hanya hidup sebagai pekerja dalam profesi-profesi yang menghasilkan pengelolaan dan pengolahan industri serta kerajinan tanpa harus mengetahui pembagian hasil dan siapa pemilik industri tersebut.

Kemudian dalam perubahan pemerintahan pada tahap selanjutnya dilakukan penguatan cross and balance kekuasaan di daerah  (keseimbangan kekuasaan) dimana power DPR Provinsi dan Kabupaten/Kota sebahagian haknya diambil alih oleh Menteri Dalam Negeri. 

DPR daerah tidak lagi berwenang melakukan pemecatan (impeachment) terhadap kepala daerah yang melakukan penyelewengan kekuasaan (abuse of power). Tentu saja hal ini sebagai kekuatiran pemerintah pusat terjadi keributan-keributan di daerah dan pergolakan ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat.

Dalam kepemimpinan politik segenap kepala daerah dapat dikatagorikan belum dewasa, mereka masih terjebak dalam semangat keakuan (egoisme) pribadi dan kelompok yang berlebihan (Peraturan negara yang Demokratis sementara mentalitas masih dalam bayang-bayang Feodalisme). 

Bahkan hampir semua daerah kita mendapatkan Kepala Daerah dan Wakil mengalami disharmoni yang kemudian menjadi lawan dan bermusuhan dalam hubungannya hingga mereka mati dan meninggalkan permusuhan itu kepada turunannya.

Ini adalah ritme perkembangan pemerintah di daerah-daerah paska dilakukan reformasi di Indonesia, dengan merubah sistem kepemimpinan Otoriter kepada pemerintahan yang Demokratis yang memberi hak politik kepada segenap anak bangsa.

Tentu saja ada masa pendewasaan jika pemerintah itu stabil dan memahami penuh tentang prinsip-prinsip demokrasi dalam nafas pemerintahan dan politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun