Ketika pemimpin negara dan daerah tidak berpotensi membawa perubahan untuk tahapan peningkatan kesejahteraan maka masyarakat perlu berinisiatif untuk membangun kesadaran diri  sehingga menjadi kesadaran kolektif untuk merubah dirinya.
Apakah hal itu bisa terjadi? Tentu saja bisa terjadi ketika telah hilang kepercayaan kepada para pemimpinnya yang berulangkali mengecewakan bahkan membuatnya geram. Dalam kepemimpinan pemerintah Aceh pada dasarnya titik tersebut telah sampai pada pemilu lalu namun muncul harapan terhadap pemimpin sebelumnya yang pada dasarnya hanya lebih baik dari kepemimpinan saat itu.
Hal ini pertanda kemunduran para pimpinan Aceh dalam melahirkan kader pemimpin daerahnya karena tidak ada kader baru yang mampu memberi harapan kepada masyarakat kemudian masyarakat justru memilih pemimpin sebelumnya. Ketika sampai pada kondisi itu maka sesungguhnya yang terjadi adalah hanyalah kompetisi politik yang bebas nilai tanpa ukuran sehingga masyarakat tidak bisa mengendalikan hasrat ingin berubah dengan wawasannya dalam politik. Sementara pemimpin yang pernah dipilih hanya bisa merubah nasibnya, keluarganya dan beberapa konconya.
Atas dasar itulah maka sudah saatnya masyarakat yang berdomisili di kabupaten berkesadaran menghentikan daerahnya dalam memproduksi pemimpin dungu untuk merubah image daerah dan masyarakat sendiri yang bisa saja digelar sebagai masyarakat dan daerah paling dungu di Aceh.
Itulah satu-satunya nilai positif ketika masyarakat masih menganut ajaran politik primordial atau politik identitas maka budaya malu itu akan memicu kesadaran masyarakat kabupaten untuk mengirim calon pemimpin provinsi yang dianggap memalukan mereka sebagai masyarakat pendukung calon pemimpin dungu dan akan ada opini seumur masa bahwa masyarakat kabupaten tersebut sebagai masyarakat dungu yang melekat erat dengan opini profil kabupaten si pemimpin dungu berasal.
Karena itu maka segera Stop Produksi pemimpin dungu daripada opini warga masyarakatnya berlebel sama dengan yang mereka usung sebagai pemimpinnya.