Kami di Aceh menghadapi situasi yang tidak sama dengan kader PAN di provinsi  lain. Selain menghadapi tekanan sosial juga setiap hari dalam kehidupan yang was-was.
Saya juga dulu membawa kawan-kawan mahasiswa ke partai itu karena wacana otonomi daerah dan bahkan harapan negara federasi.
PAN yang awalnya sebagai partai harapan untuk perubahan bernegara, dan kami menawarkan jalan tengah kepada pihak berkonflik di Aceh untuk menjadi solusi antara tuntutan pembebasan wilayah dan pihak lain mempertahankan sebagai harga mati.
Penutup:
Saya adalah mantan orang PAN. Karena itu saya tidak bisa lagi diam. Karena Partai Politik PAN adalah salah satu asset politik rakyat, milik rakyat, jangan sampai dibawa ke ranah pribadi dengan mempecundangi demokrasi.
Saya melihat bahwa prilaku pimpinan PAN sekarang sebagai prilaku pimpinan Indonesia terhadap warga daerah yang jauh dari keadilan.
Kalau hal ini tidak ada jalan mengubahnya maka saya sebagai warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh, sudah mengambil kesimpulan final bahwa pemimpin di pusat jelas tidak mampu menjaga konstitusi negara ini sebagai negara demokratis berdasarkan UUD45, Pancasila serta Bhinneka Tunggal Ika.
Karena itu bila kami diam hari ini adalah kami ikut menjual bangsa ini di pasar kekuasaan. Semua warga Aceh yang menjadi kader partai nasional di PAN masa itu adalah para aktivis yang malang melintang. Sejak Zulkifli Hasan menjadi Ketua Umum, 80 persen memilih berada diluar PAN, namun mereka adalah orang orang yang pernah menjadi kader resmi PAN.
Tulisan ini juga sebagai tanggung jawab moral kepada semua kader di Aceh yang dulu senasib sepenanggungan dalam membangun partai dimasa-masa sulit tersebut.
Terimakasih
Salam...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI