Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Penulis Politik Perlawanan | Pendiri Gerakan Aceh Bangkit Penggagas Kesadaran Merdeka untuk Rakyat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis demi rakyat yang dilupakan kekuasaan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Saya Mantan Orang PAN ; Dulu Kami Diajarkan Demokrasi dan Reformasi, Sekarang Malah ke "Pelacur Demokrasi"

23 Juli 2025   09:09 Diperbarui: 23 Juli 2025   09:09 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar, dokumen pribadi

Oleh : Goodfathers Aceh


Saya tidak menulis ini karena benci. Saya menulis ini karena cinta. Cinta pada rakyat yang ingin merubah nasibnya, cinta pada cita-cita reformasi, cinta pada demokrasi yang hari ini diperkosa oleh mereka yang dulu mengaku pejuangnya.

Saya tahu isi dapur PAN. Saya pernah di dalam. Saya menyaksikan sendiri bagaimana idealisme dikorbankan demi jabatan, bagaimana suara rakyat dijadikan alat dagang politik. PAN hari ini bukan lagi Partai Amanat Nasional. PAN telah menjelma jadi Partai Ambisius Narsistik partai yang melacurkan demokrasi demi kursi.

Dulu Bawa Panji Reformasi, Kini Menjualnya di Pasar Kekuasaan

PAN berdiri di atas semangat perubahan pasca-Orde Baru. Tapi tidak lama setelah itu, yang berubah perlahan-lahan yang terlihat berubah hanya tinggal benderanya, bukan mentalitas penguasa di dalamnya. Mereka bicara demokrasi, tapi mematikan kader kritis.
Mereka bicara rakyat, tapi hidup dari hasil menjual penderitaan rakyat. Kondisi politik kembali ke jaman jahiliah rata-rata pimpinan partai membawa bangsa ini ke sistem sentralistik sebagaimana sistem orde baru yang dilawannya.

Reformasi gelombang kedua
Reformasi gelombang kedua

📘 Buku Baru: REFORMASI GELOMBANG KEDUA

Aceh Thinks Revolution – Suara Aceh untuk Indonesia yang Adil
✍️ Oleh Tarmidinsyah Abubakar

---

📖 Tentang Buku

Buku ini bukan sekadar ajakan, tapi seruan pemikiran dari Aceh untuk Indonesia yang adil. Isinya membedah sistem dengan ketajaman logika, tapi tetap damai dalam solusi. Dari MoU Helsinki sampai jalan kultural masa depan.

Isi buku:

Autopsi politik UUPA & sistem Jakarta

Strategi membangun kekuatan rakyat dari bawah

Sistem kepemimpinan Aceh berbasis nilai

Cara berjuang tanpa kekerasan

Revolusi budaya dan kesadaran baru

Karena itu mereka menempatkan orang-orang bermental petualang dari daerah yang tidak paham otonomi daerah guna melancarkan sentralisme kekuasaan partai yang sesungguhnya membahayakan negara ini.

PAN sekarang bukan korban sistem. Mereka bagian dari sistem yang menipu meski tidak mereka sadari. Entah karena tidak paham atau karena sengaja. Lalu bagaimana dengan mereka yang paham, tentu hal ini sebagai perjalan yang sangat menjijikkan dalam sistem demokrasi.

Satu sisi kita bicara demokrasi disisi lain sikap kader dan pimpinannya sungguh otoriter. Ini pekerjaan Munafiq dalam Islam.

Dari Pusat Sampai Daerah: Mentalitas Sama

Saya pantau dari dekat. Kader PAN di mana pun berada punya satu pola: mengejar kekuasaan, bukan perjuangan.
Semua dikuasai elite pusat yang haus kursi, dan mereka akan mencampakkan siapa pun yang mengganggu kenyamanan itu.
Sebut saja demokrasi internal partai? Itu ilusi.

PAN tidak lagi berbeda dari partai-partai besar lain yang dulu mereka kritik. Kini mereka bahkan lebih buruk karena mereka mengkhianati sejarah mereka sendiri.

Pengkhianatan yang Tak Termaafkan

Reformasi 1998 menelan darah, air mata, dan nyawa. Tapi lihatlah PAN hari ini, partai ini justru duduk nyaman di atas penderitaan rakyat yang mereka khianati.

Mereka adalah pelacur demokrasi menjual suara, menjual harga diri, menjual sejarah perjuangan.

Pesan untuk Rakyat:

Jangan tertipu. Jangan lagi percaya pada mereka yang menunggangi nama reformasi untuk memperkaya kelompok sendiri.
Jangan biarkan demokrasi dipakai sebagai panggung sandiwara kekuasaan.
Demokrasi hanya dijadikan topeng, namun dalam penerapannya mereka justru otoriter.

Hal ini adalah penyebab kekuasaan menjadi sentralistik, kekuasaan penuh (mutlak) ada ditangan ketua umumnya.

Mereka yang dianggap berprestasi tentu sederhana saja, sudah pasti yang paling bisa mendekati ketua umumnya dengan pendekatan apa saja asal bos senang. Bisa minta apa saja asal memenuhi syarat permintaan ketua umumnya.

Kenapa Saya Menulis Ini?

Saya merasa sangat kecewa dengan cara yang dilakukan oleh ketua umum PAN yang melupakan perjuangan kader di daerah. Pengabdian kader PAN di Aceh dianggap sampah, dia tidak paham bahwa kader PAN ada yang meninggal karena PAN, dan dia tidak paham ada kader PAN yang kena pukul dimasa itu. Dia juga tidak tahu bagaimana kami harus melewati jalan yang ditumbangi pohon untuk menjadi peserta. Dia juga tidak peduli kami turun pesawat Hercules dan harus dikawal ketika pulang ke rumah.

Karena saya mantan kader dan pimpinan di PAN Aceh sejak saya masih belia, karena saya warga masyarakat Aceh yang menghadapi konflik dimasa itu dimana kader partai nasional bahkan banyak yang ditembak.

Kami di Aceh menghadapi situasi yang tidak sama dengan kader PAN di provinsi  lain. Selain menghadapi tekanan sosial juga setiap hari dalam kehidupan yang was-was.

Saya juga dulu membawa kawan-kawan mahasiswa ke partai itu karena wacana otonomi daerah dan bahkan harapan negara federasi.

PAN yang awalnya sebagai partai harapan untuk perubahan bernegara, dan kami menawarkan jalan tengah kepada pihak berkonflik di Aceh untuk menjadi solusi antara tuntutan pembebasan wilayah dan pihak lain mempertahankan sebagai harga mati.

Penutup:

Saya adalah mantan orang PAN. Karena itu saya tidak bisa lagi diam. Karena Partai Politik PAN adalah salah satu asset politik rakyat, milik rakyat, jangan sampai dibawa ke ranah pribadi dengan mempecundangi demokrasi.

Saya melihat bahwa prilaku pimpinan PAN sekarang sebagai prilaku pimpinan Indonesia terhadap warga daerah yang jauh dari keadilan.

Kalau hal ini tidak ada jalan mengubahnya maka saya sebagai warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh, sudah mengambil kesimpulan final bahwa pemimpin di pusat jelas tidak mampu menjaga konstitusi negara ini sebagai negara demokratis berdasarkan UUD45, Pancasila serta Bhinneka Tunggal Ika.

Karena itu bila kami diam hari ini adalah kami ikut menjual bangsa ini di pasar kekuasaan. Semua warga Aceh yang menjadi kader partai nasional di PAN masa itu adalah para aktivis yang malang melintang. Sejak Zulkifli Hasan menjadi Ketua Umum, 80 persen memilih berada diluar PAN, namun mereka adalah orang orang yang pernah menjadi kader resmi PAN.

Tulisan ini juga sebagai tanggung jawab moral kepada semua kader di Aceh yang dulu senasib sepenanggungan dalam membangun partai dimasa-masa sulit tersebut.

Terimakasih
Salam...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun