Mohon tunggu...
Taofik KHidayat
Taofik KHidayat Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Akhir Tahun, Momentum Evaluasi Pertanian

10 Desember 2018   14:17 Diperbarui: 10 Desember 2018   14:22 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir tahun adalah waktu yang tepat untuk mengevaluasi diri. Atas pencapaian atau juga target yang belum kesampaian. Semangatnya adalah untuk memperbaiki diri, terutama di tahun yang akan datang.

Evaluasi adalah hal yang lumrah. Oleh karena itu, tidak perlu ada yang alergi atau malah antipati ketika kata evaluasi disebutkan. 

Sebagai salah satu kebutuhan pokok, pangan adalah topik evaluasi yang sangat penting. Segala sesuatu terkait pangan, mulai dari produksi hingga pemangku kepentingannya, penting untuk menjadi objek dari evaluasi.

Dalam konteks ini, mari kita mengevaluasi Kementerian Pertanian (Kementan) sebagai pemangku kepentingan urusan pangan. Belakangan, muncul berbagai desakan untuk mengevaluasi Kementan, khususnya dalam urusan anggaran. Desakan itu muncul karena ada berbagai 'kesalahan' yang disorot dari kerja Kementan.

Pentingnya evaluasi (meme editan pribadi)
Pentingnya evaluasi (meme editan pribadi)
Mulai dari kontroversi penolakan impor beras di awal tahun, kesalahan data produksi beras, luasan lahan pertanian yang berbeda dengan versi Badan Pusat Statistik, pergolakan harga jagung dan klaim surplus produksinya, hingga program cetak sawah Kementan yang ternyata tidak berhasil menambah luas lahan pertanian versi Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

Dalam hal politik anggaran, berbagai kontroversi dan polemik Kementan itu ada pengaruhnya. Karena kerja mereka tentu berdasarkan anggaran, dan sebaliknya, anggaran tentu mengikuti rancangan kerja serta programnya.

Polemik dan kontroversi Kementan tahun ini, mestinya tercermin juga dari penggunaan anggarannya. Sebagai contoh, harusnya ada pengaruh dari selisih luas lahan pertanian versi BPS dan Kementan, dalam hal alokasi anggaran pupuk, benih, dan sarana produksi pertanian.

Perlunya rasionalisasi anggaran ini dikarenakan perbedaan data antara klaim Kementan dengan data BPS perbedaannya mencapai 41,49 persen. Kementan mengklaim, produksi padi pada 2018 mencapai kisaran 80 juta ton. Sementara itu, dari metode penghitungan kerangka sampel area, BPS melansir produksi padi hanya 56,54 juta ton di periode yang sama.

Atau dalam hal klaim surplus produksi jagung, yang tentu berkaitan dengan anggaran subsidi benih jagung untuk petani.

Salah satu yang mesti dirasionalkan dan diaudit anggarannya terkait subsidi pupuk. Pasalnya, subsidi pupuk di tahun 2018 saja mencapai Rp28,5 triliun. Lalu pada 2019, subsidi pupuk bahkan ditingkatkan menjadi Rp29,5 triliun. Tikus mana yang tidak ngiler dengan anggaran sebesar itu? Ya Kan?

Sumber informasi: Kontan.co.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun