Mohon tunggu...
Tantrini Andang
Tantrini Andang Mohon Tunggu... Penulis - penulis cerpen dan buku fiksi

menulis itu melepaskan hal-hal yang biasa menjadi luar biasa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Begal

17 Juni 2019   05:34 Diperbarui: 17 Juni 2019   08:16 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senja memerah mengeser bola langit ke peraduannya. Suara teriakan para ibu yang memanggil anak-anaknya pulang dari bermain terdengar bersahutan. Perlahan suasana kampung yang kental dengan kepadatan penghuninya itu mulai lengang. Dan berbagai kesibukan pun berpindah, hanya terdengar di dalam rumah masing-masing.

            Dua orang lelaki sedang duduk di salah satu teras rumah. Sebuah meja kecil tanpa taplak berdiri kokoh di depan mereka. Di atasnya tampak dua buah botol minuman keras yang tinggal separuh isinya. Sepiring singkong goreng yang telah dingin turut menemani cengkerama mereka. Sarju, lelaki yang lebih tua menengadahkan kepalanya di sandaran kursi. Matanya terpejam. Nikmatnya tegukan terakhir dari isi botol minuman itu mengguliri kerongkongannya, lalu meresap jauh ke tiap sel-sel  tubuhnya, mengaliri jiwa berangasannya. 

            Terlintas lagi di benaknya kejadian pagi tadi. Wajah seorang lelaki tua yang ketakutan, merengek minta dikasihani. Rengekan itu sempat mengusik nuraninya. Sekilas saja, namun cukup membuatnya bertanya dalam hati. Bagaimana nasib lelaki itu sepeninggalnya? Ia tadi menendang bagian lututnya yang terlihat rapuh itu. Lalu terdengar jeritan kesakitan keluar dari mulut lelaki ringkih itu. Tubuhnya rubuh tepat di samping motor yang masih berputar-putar kedua rodanya. Lalu Sarju sengaja menambah satu tendangan lagi, tanpa belas kasih. Tubuh kurus itu menggelinding ke selokan, masih dengan jeritan ketakutan dan kesakitan. Namun  ia tak peduli. Dengan sigap motor  yang rebah itu disambarnya. Kabur.

            Sehari sebelumnya seorang perempuan hanya mampu menangis saat berhadapan dengan sangkur yang dibawanya. Satu goresan di pipinya cukup membuat perempuan itu menggigil. Tanpa banyak perlawanan, perempuan itu menyerahkan motor yang dibawanya.  Masih terbayang jelas sinar ketakutan di mata perempuan lemah itu. Selalu begitu, para pemilik motor itu tak akan banyak berkutik. Bagaimanapun harga sebuah motor tidak semahal harga nyawa. Itu mungkin yang ada di pikiran perempuan yang ketakutan itu, juga para pemilik motor yang pernah menjadi korbannya. Sarju tersenyum samar. Betapa mudahnya menundukkan orang hanya dengan sebuah ancaman.

            "Sudah mulai gelap, Kang, " ujar Komar, lelaki yang lebih muda. Sarju   membuka matanya.

            "Kenapa?"

            "Sudah saatnya kita berburu lagi"

            "Hhhmmm..." Sarju kembali memejamkan matanya. Masih jelas dalam pikirannya keluhan istrinya untuk membeli kulkas baru. Kulkas lama sudah tidak lagi dingin untuk menyimpan makanan kesukaannya. Juga rengekan Agus, anak tunggalnya, untuk membeli handphone model terbaru. Sarju mendesah. Meskipun ia mendapatkan hasil yang lumayan dari merampas motor dan menjualnya pada para penadah,  namun rasanya masih saja ia merasa kekurangan. Ada saja hal-hal yang belum terpenuhi yang harus dikejarnya. Benarkah kata orang bahwa rejeki yang didapat dengan mengambil hak orang lain tidak akan tinggal di genggaman?

            Langit mulai menghitam saat Sumirah, istrinya keluar. Wajahnya tampak gelisah memandang ke arah jalan depan rumah. Kepalanya melongok ke kiri dan ke kanan seolah sedang mencari sesuatu.

            "Ada apa, Yu?" tanya Komar. Sarju yang mendengar Komar menyapa istrinya lalu membuka matanya lagi. Dilihatnya wajah Sumirah yang resah. Mulut perempuan itu terkunci rapat seolah tak mempedulikan pertanyaan Komar. Hawa dingin yang merambat perlahan membuat perempuan itu terpaksa menangkupkan kedua lengan ke dadanya. Lalu dilangkahkannya kakinya menuju ke pintu pagar. Di depan pagar, ia berdiri sejenak sambil memandang ke ujung jalan.

            "Mau kemana Mirah?" Sarju mengulangi pertanyaan Komar. Sumirah masih terdiam sebelum akhirnya ia kembali berbalik arah menuju ke teras rumah. Wajahnya masih keruh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun