Mohon tunggu...
Tan Malako
Tan Malako Mohon Tunggu... Penganggur

Kaum rebahan. Suka bakso dan mie ayam.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Catatan Pribadi dari Pinggir Tragedi Bom Makassar 2021

1 September 2025   17:43 Diperbarui: 1 September 2025   18:32 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara-suara itu masih bergaung, seperti gema yang tidak pernah menemukan dinding untuk berhenti. Rekaman detik-detik sebelum bom bunuh diri Makassar 2021, yang tersebar luas di media sosial, bukan sekadar arsip visual. Ia adalah artefak auditori yang terlalu akrab bagi pendengaran saya. Bukan soal aksen, bukan logat, melainkan sesuatu yang lebih spesifik: suara. Timbre yang tidak dapat dipalsukan atau disamarkan. Saya dapat menyebut lima nama dari percakapan yang terekam itu, satu per satu, dengan keyakinan yang tidak mungkin salah.

Suara-suara tersebut adalah suara warga Desa Kalosi, sebuah desa kecil di Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan --- desa tempat saya lahir, tumbuh dan mengenal banyak wajah dan suara. Identifikasi ini bukan sekadar pengakuan geografis, tetapi pengenalan yang lahir dari keakraban yang tidak dapat dipalsukan oleh rekaman atau teknologi apa pun.

Keakraban terhadap suara-suara tersebut justru menyingkap paradoks yang sulit dinalar. Individu-individu yang terdengar dalam rekaman dikenal luas sebagai muslim taat. Namun, rekaman itu menghadirkan realitas yang berlawanan. Suara-suara tersebut jelas menunjukkan bahwa mereka baru saja keluar dari gereja, seolah mengungkap bahwa identitas muslim yang mereka tampilkan selama ini hanyalah topeng yang dipakai dengan rapi.

Mereka memainkan peran sebagai muslim taat di hadapan masyarakat---berjilbab, rajin ke masjid, aktif di pengajian---namun rekaman itu menelanjangi lapisan kepura-puraan tersebut, membuka kemungkinan bahwa seluruh citra kesalehan yang mereka bangun hanyalah bagian dari skenario yang lebih besar, disusun dengan presisi untuk menutupi keterlibatan dalam sesuatu yang jauh lebih kompleks dan tersembunyi.

Ingatan saya kembali ke malam Minggu, 21 April 2019. Sekitar pukul dua dini hari, beberapa jam sebelum lonceng gereja berdentang memulai Paskah, terdengar ketukan pelan di pintu kamar kos saya. Tidak ada nada ancaman, hanya ketukan biasa yang tidak membangkitkan rasa curiga. Belakangan, saya mengetahui bahwa dua pria yang mengaku sebagai polisi meminta bantuan petugas kebersihan kos untuk mengetuk pintu. Tanpa berpikir panjang, saya membukanya. Saat pintu terbuka, keduanya langsung menerobos masuk. Salah satu dari mereka mengangkat pistol, mengarahkannya ke wajah saya. Jaraknya tidak sampai menempel, tetapi cukup dekat untuk menegangkan udara di dalam kamar.

Mereka menyuruh saya menyalakan lampu, memeriksa ruangan secara singkat, lalu meminta saya ikut bersama mereka tanpa memberikan penjelasan apa pun. Saya menurut, dengan asumsi sederhana bahwa saya akan dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Namun, perjalanan itu tidak mengarah ke kantor mana pun. Dengan menggunakan sepeda motor pribadi, salah satu dari mereka mengemudikan kendaraan melewati jalan-jalan sunyi Makassar. Tidak ada percakapan, hanya suara mesin yang memecah kesunyian malam. Perjalanan berhenti di sebuah warung kopi yang tampak sepi. Di sana, saya secara kebetulan bertemu seorang teman. Entah apa pertimbangannya, pertemuan itu tampaknya mengubah rencana mereka. Tanpa penjelasan lebih lanjut, kedua pria itu membiarkan saya pulang, meninggalkan kebingungan dan pertanyaan yang tidak pernah terjawab.

Peristiwa itu tidak pernah masuk ke catatan resmi, tidak dilaporkan di media, dan tidak terdokumentasi di arsip mana pun. Namun, pengalaman tersebut mengajarkan bahwa kekuasaan sering hadir tanpa tanda, tanpa prosedur, dan tanpa pertanggungjawaban. Giorgio Agamben, dalam State of Exception (2005), menjelaskan kondisi ini sebagai keadaan pengecualian, di mana hukum tidak dihapus, tetapi digantung. Negara menciptakan ruang abu-abu yang melegitimasi tindakan-tindakan ekstrem tanpa kehilangan legitimasi formal. Malam itu, saya berada di ruang abu-abu tersebut --- ruang di mana hukum seolah hadir, tetapi tidak pernah benar-benar berlaku, dan tubuh saya direduksi menjadi objek yang dapat diintervensi kapan saja.

Dua tahun kemudian, ketika bom meledak di depan Gereja Katedral Makassar dan rekaman suara beredar, bunyi ketukan pintu malam itu kembali terdengar di kepala saya. Suara-suara dari Kalosi itu memaksa ingatan untuk kembali ke ruang yang telah saya coba tinggalkan. Dalam keheningan, pertanyaan-pertanyaan muncul, bukan sekadar tentang apa yang sebenarnya terjadi, tetapi juga tentang bagaimana narasi besar dibangun, diulang, dan didistribusikan tanpa pernah membuka ruang bagi keraguan.

Narasi resmi negara berjalan seperti biasa. Terdapat pelaku, jaringan radikal, dan motif ideologis. Media mengulang narasi itu tanpa kritik, mencetak berita dengan format yang sama, dan membentuk opini publik yang seragam. Publik diarahkan untuk percaya bahwa peristiwa itu adalah hasil ekstremisasi individu yang kehilangan kendali. Namun, pengalaman personal saya menolak kesederhanaan semacam itu. Rekaman suara tersebut menunjukkan bahwa peristiwa ini bukanlah ledakan yang lahir dari spontanitas, melainkan skenario yang dibangun dengan presisi. Orang-orang yang saya kenal, orang-orang yang sehari-hari hadir di masjid, justru terdengar di lokasi dan waktu yang terlalu tepat untuk dianggap kebetulan.

Agamben mengingatkan bahwa keadaan pengecualian bukanlah deviasi, melainkan paradigma pemerintahan modern. Dalam kerangka ini, teror bukan hanya ancaman, tetapi juga instrumen pengaturan populasi. Negara menciptakan krisis, lalu menggunakan krisis itu untuk memperluas legitimasi dan mengatur kehidupan sehari-hari warganya. Michel Foucault, dalam Society Must Be Defended (1997), menambahkan bahwa kekuasaan bekerja melalui distribusi ancaman. Teror menjadi bagian dari teknologi kekuasaan; ia tidak hanya menghancurkan, tetapi juga menata, mendisiplinkan, dan mengatur perilaku kolektif.

Bom Makassar dapat dipahami sebagai bagian dari teater kekuasaan: pertunjukan yang mengatur opini publik, membentuk rasa takut kolektif, dan membenarkan kehadiran aparat keamanan yang semakin dalam menjangkau ruang-ruang privat warga. Dalam kerangka ini, tubuh individu tidak lagi netral. Ia menjadi arena operasi kekuasaan. Tubuh pelaku bom bunuh diri, misalnya, adalah representasi ekstrem dari tubuh yang telah didisiplinkan, diarahkan, dan dimobilisasi hingga mencapai titik kehancuran. Foucault menyebut tubuh seperti ini sebagai docile body, tubuh patuh yang dapat diatur dan dimanfaatkan sebagai instrumen kekuasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun