Mohon tunggu...
Tan Malako
Tan Malako Mohon Tunggu... Penganggur

Kaum rebahan. Suka bakso dan mie ayam.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Anatomy of an Explosion: Psikologi di Balik Teror Bom Bunuh Diri

24 Agustus 2025   18:59 Diperbarui: 24 Agustus 2025   18:59 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anatomy of an Explosion: (Sumber: Koleksi Pribadi) 

Pertanyaan besar kemudian muncul: mengapa kejanggalan demi kejanggalan tidak menjadi pintu masuk penyelidikan mendalam? Mengapa selalu ada rekaman CCTV yang tidak utuh, atau direkam ulang menggunakan ponsel, seolah keasliannya sengaja dikaburkan? Mengapa narasi resmi muncul terlalu cepat, seperti skenario yang sudah disiapkan jauh sebelum asap ledakan menghilang? Mengapa tidak ada rekaman beruntun yang menunjukkan perjalanan penuh para "pelaku", hanya potongan-potongan yang dipilih untuk membentuk cerita yang diinginkan? Semua pertanyaan ini membentuk pola: sebuah upaya mengontrol persepsi publik, bukan sekadar menjelaskan fakta.

Ketika kita menatap kembali ke Makassar, atau ke kota mana pun yang menjadi lokasi "teror", kemungkinan rekayasa itu tidak bisa diabaikan. Naluri mempertahankan hidup terlalu kuat untuk percaya begitu saja bahwa seseorang, tanpa tekanan ekstrem atau manipulasi mendalam, rela menukar hidupnya dengan kematian yang brutal. Yang lebih mungkin adalah bahwa tubuh-tubuh itu --- yang kemudian difoto, ditayangkan, dan dijadikan simbol --- adalah korban dari sesuatu yang jauh lebih besar: mesin produksi ketakutan yang beroperasi dengan presisi ilmiah.

Kita hidup di era di mana realitas dan representasi sering kali tak bisa dibedakan. Kematian bisa direkayasa, bukan dalam arti biologis, tetapi dalam arti naratif: bagaimana ia dipresentasikan, diceritakan, dan dimaknai. Dalam konteks ini, bom bunuh diri bukan hanya peristiwa, melainkan teks --- teks yang dibaca, diinterpretasikan, dan dijadikan dasar kebijakan. Kita diminta untuk percaya, bukan untuk berpikir. Dan setiap kali ada yang mencoba bertanya, suara mereka tenggelam dalam kebisingan media yang menuntut solidaritas tanpa kritik.

Pada akhirnya, mungkin para "pelaku" yang disebut sebagai teroris bukanlah monster sebagaimana digambarkan, melainkan korban sesungguhnya. Mereka adalah tubuh-tubuh yang dimanfaatkan, narasi yang dikonstruksi, dan simbol yang dikorbankan agar cerita besar tentang ancaman dan penyelamatan tetap hidup. Mereka tidak benar-benar memilih mati; mereka dipilih untuk mati. Dan kita, yang menyaksikan dari layar televisi atau ponsel, tidak sedang melihat kebenaran, melainkan drama besar yang terus dipentaskan, dengan kita sebagai penonton setia, tepuk tangan kita sebagai bahan bakar yang membuat panggung ini tak pernah sepi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun