"The image of Majapahit as a proto-national state was largely a product of nineteenth- and twentieth-century historiography."
Benedict R. O’G. Anderson (Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia. 1990)
Di kafe-kafe Eropa abad ke-18, “Java” bukanlah sekadar nama sebuah pulau berasap gunung berapi dan kisah kerajaan yang terkubur waktu. Di Paris, ia meluncur dari bibir para bangsawan sebagai café de Java—dengan kelembutan yang sama seperti menyebut parfum langka yang tersimpan di lemari kaca. Di London, “Prime Java Coffee” berdiri di etalase toko, dijaga laksana perhiasan mahkota. Namun, jauh di tanah tropis tempat aroma itu lahir, “Java” juga berarti manusia: mereka yang bernapas dengan bahasa, adat, dan sejarah yang telah berabad-abad mendahului biji kopi pertama ditanam. Ironisnya, kedua “Java” ini—kopi dan manusia—dipanggang dalam tungku kolonial yang sama, hingga tak jelas lagi mana yang lebih pahit: seduhan di cangkir atau nasib di sejarah.
Kopi pertama kali tiba di pulau Jawa sekitar 1696, dibawa oleh VOC dari Mocha, Yaman. Percobaan awal gagal akibat banjir dan gempa, tetapi pada 1699 bibit baru ditanam di Priangan dan kali ini berhasil. Tak butuh waktu lama sebelum pada 1711, kapal VOC mengangkut kopi Jawa ke Amsterdam untuk dijual di pelelangan. William H. Ukers dalam All About Coffee mencatat bahwa "kopi Jawa segera menjadi barang dagangan yang sangat dicari di pasar Eropa, dikenal karena rasa kuat dan aromanya yang khas". Di balik aroma itu, tentu saja, tersembunyi kerja paksa ribuan petani yang harus menanam kopi bukan karena mereka suka minum kopi, tetapi karena pemerintah kolonial mengatakan begitu.
Belanda lalu menemukan cara lebih efektif untuk mengubah tanah Jawa menjadi ladang uang: Sistem Tanam Paksa atau Cultuurstelsel yang dimulai pada 1830. Dalam Caffee and Coffeehouses, Clarence-Smith menulis, "petani diwajibkan menyerahkan seperlima tanahnya untuk tanaman ekspor seperti kopi, gula, dan nila (nama Latin Indigofera tinctoria, tanaman penghasil zat pewarna biru alami) . dengan harga yang ditentukan pemerintah". Dalam bahasa yang lebih jujur: mereka dipaksa menanam untuk orang lain, dibayar murah, dan bila panen gagal, mereka tetap berutang. Bagi orang Belanda, kopi ini adalah emas hitam cair. Bagi petani Jawa, ia adalah jejak pekat yang dituang dari generasi ke generasi.
Namun "Java" bukan hanya kopi. Ia juga sebuah identitas etnik yang pada abad ke-14 menjadi inti dari kerajaan Majapahit. Di sinilah muncul istilah yang saya sebut "Jawa Hitam" (kata yang muncul secara ajaib karena acak iseng) -bukan merujuk pada warna kulit atau jenis kopi, tetapi pada campuran sejarah yang disangrai kolonialisme dan dibumbui nasionalisme. Majapahit yang kita kenal hari ini bukanlah Majapahit sebagaimana adanya, melainkan Majapahit yang telah diseduh ulang oleh sejarawan kolonial dan politikus modern.
Dalam catatan sejarah kolonial, Majapahit diposisikan sebagai "puncak peradaban" yang kemudian "jatuh" sebelum bangkit kembali dalam wujud negara modern. Aroma narasi ini sedap, tetapi seperti kopi instan, bahan dasarnya sudah diolah sedemikian rupa sehingga rasanya jauh dari aslinya.
Dalam konstruksi kolonial, Jawa dipandang sebagai pusat peradaban di Nusantara, dan Majapahit dijadikan simbol kejayaan yang "hilang" dan perlu "dipulihkan". Pandangan ini diadopsi oleh nasionalisme Indonesia awal abad ke-20. Para tokoh pergerakan, baik sengaja maupun tidak, menyeruput racikan ini. Sama seperti minum kopi Java di kedai Amsterdam, mereka menikmati rasa yang kuat tanpa bertanya siapa yang memetik bijinya. Sejarah menjadi seperti minuman: bisa dikemas, diberi merek, dijual, dan disesap sesuai selera penguasa.
Namun seperti halnya kopi, tidak semua orang minum "Java" dalam bentuk hitam pekat. Ada yang menambahkan gula, susu, atau bahkan krim ideologi. Pada era Orde Baru, misalnya, Majapahit dijadikan latte sejarah: banyak busa di permukaan, manis di lidah, tetapi mengandung kafein yang membuat kita terjaga hanya untuk melihat satu versi kebenaran. Sebagian sejarahwan mencoba menyajikannya sebagai kopi tubruk--apa adanya, tanpa filter--tetapi pembaca modern sering lebih suka cappuccino narasi resmi.
Ironisnya, di dunia Barat, "Java" masih lebih sering berarti kopi ketimbang manusia. Bahkan di Amerika Serikat, istilah "a cup of Java" menjadi sinonim untuk secangkir kopi, dan bahasa pemrograman yang lahir pada 1995 pun diberi nama Java karena dianggap seperti kopi: membuat penggunanya tetap terjaga dan produktif. Sementara di Indonesia, kata "Java" lebih sering kita terjemahkan menjadi "Jawa", sebuah identitas yang kadang diangkat, kadang ditekan, tergantung siapa yang memegang cangkir.